Pada hari Selasa, 29 Oktober 2024, saya berada di depan kantor Polda Yogyakarta untuk mengikuti Demo Santri Memanggil, di mana para santri menggelar aksi damai dengan tema "Santri Bergerak Melawan Premanisme dan Menolak Miras." Suasana di sekitar sangat penuh emosi; ada semangat dan ketegangan yang meluap-luap. Para santri, yang sebagian besar mengenakan seragam khas mereka, yaitu koko berwarna putih dan jilbab bagi perempuan, menciptakan citra yang mencerminkan identitas mereka sebagai pelajar agama. Atribut seperti spanduk dan poster yang bertuliskan penolakan terhadap miras dan premanisme menjadi asesoris yang mendukung ekspresi mereka. Suara lantunan solawat dan yel-yel serta seruan yang tegas menambah nuansa solidaritas di antara mereka, menunjukkan keberanian mereka untuk mengawal proses hukum dari para pelaku kasus pengeroyokan penusukan 2 santri oleh oknum orang timur indonesia.
Saya memperhatikan dua santri yang berdiri di dekat panggung demonstrasi. Santri pertama, seorang pemuda berbadan tegap dengan rambut pendek rapi, tampak bersemangat meneriakkan slogan-slogan penolakan. Cara dia berkomunikasi sangat lugas, menggunakan bahasa Indonesia yang tegas dan jelas, menegaskan pesan yang ingin disampaikan. Kostumnya mencerminkan identitas santri yaitu mengenakan sarung batik, koko putih yang bersih, dan peci hitam. Santri kedua, seorang perempuan, berdiri di depan para santriwati dengan mengenakan pakaian gamis dan jilbab berwarna merah . Dia berbicara dengan suara bergetar, mengekspresikan rasa pedulinya terhadap teman-temannya yang menjadi korban. Gaya komunikasinya lebih lembut, tetapi tetap berisi semangat. Kedua santri ini saling mendukung dalam menyampaikan pesan mereka, menciptakan sinergi yang kuat di tengah kerumunan.
Dari pengamatan saya, interaksi antara kedua santri ini menunjukkan sinergi yang kuat dalam menyampaikan pesan aksi damai. Mereka berfungsi sebagai representasi suara santri yang menolak tindakan premanisme dan penyalahgunaan alkohol. Hal ini dipicu oleh kejadian mengerikan yang menimpa rekan mereka, yang menjadi korban dari kekerasan yang diakibatkan oleh oknum pemabuk. Keterikatan mereka dengan identitas santri dan komunitas agama mendasari cara mereka berinteraksi. Mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk melindungi teman-teman dan masyarakat sekitar dari ancaman yang merusak.
Dalam konteks identitas sosial mereka, kedua santri ini bertindak sesuai makna yang dibawa oleh seragam dan atribut yang mereka kenakan. Sarung dan jilbab tidak hanya sekadar pakaian; itu adalah simbol komitmen mereka terhadap nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dalam agama. Dengan berani menyuarakan penolakan terhadap miras dan premanisme, mereka mengukuhkan identitas mereka sebagai santri yang tidak hanya belajar agama, tetapi juga berperan aktif dalam menyebarkan kebaikan di masyarakat. Aksi mereka tidak hanya ditujukan untuk menuntut keadilan bagi korban, tetapi juga sebagai peringatan bagi masyarakat bahwa tindakan kriminal tidak bisa ditolerir, dan perlu adanya kolaborasi dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan harmonis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H