Sejarah pelanggaran hak asasi manusia di Rohingya, Myanmar telah berlangsung selama beberapa dekade. Konflik antara komunitas Rohingya dan pemerintah Myanmar telah berlangsung sejak perang saudara di negara itu yang dimulai pada tahun 1948.
Komunitas Rohingya, yang terdiri dari muslim etnis Bangladesh, telah mengalami diskriminasi rasial dan etnis selama bertahun-tahun di Myanmar, yang mayoritas penduduknya adalah buddha. Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai pendatang illegal dari Bangladesh dan tidak mengakui mereka sebagai warga negara Myanmar.
Pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya telah meningkat sejak tahun 2012, ketika kekerasan etnis meledak di Rakhine State, wilayah utama tempat tinggal Rohingya. Ledakan kekerasan ini menyebabkan pembuangan massal Rohingya ke negara tetangga, seperti Bangladesh.
Pada tahun 2017, pasukan keamanan Myanmar dilaporkan melakukan operasi militer yang sangat brutal terhadap komunitas Rohingya, termasuk pendudukan tanah, pembuangan massal, penyiksaan, dan pembantaian. Lebih dari 740.000 Rohingya diusir dari Myanmar ke Bangladesh dalam waktu singkat, yang diakui sebagai pembersihan etnis oleh PBB dan negara-negara lain.
Sampai saat ini, masih ada jutaan Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, karena tidak ada jaminan keamanan yang cukup bagi mereka untuk kembali ke Myanmar. Pemerintah Myanmar dituding tidak melakukan upaya yang cukup untuk menghentikan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya, dan banyak pihak menyerukan adanya tindakan hukum internasional terhadap pihak yang bertanggung jawab.
Ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, antara lain:
Diskriminasi
Pelanggaran hak asasi manusia sering terjadi karena diskriminasi berdasarkan ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, dll.
Ideologi politik
Pemerintah atau kelompok yang memegang ideologi tertentu dapat melakukan pelanggaran hak asasi manusia untuk mempertahankan atau memperluas pengaruh mereka.
Ekonomi