Adios Yngwie Malmsteen, Steve Vai, John Petrucci, dan nama-nama lainnya yang sudah tampak rada peot saat menyangga gitar di pundak!
Dunia cukup berterima kasih kepada kalian, yang sudi menuruni jagat langit dewa batara dan mengajarkan cara bergitar pada satu generasi baru di bumi. Dan kini, generasi gitaris kontemporer itu sudah tumbuh membesar.
Entah gua garba perempuan suci mana yang melahirkan genius-genius gitar anyar ini. Mereka, sebutlah Jakub Zytecki, Nick Johnston, Mateus Asato, dan atau Guthrie Govan telah menggubah komposisi-komposisi musik ajaib yang belum pernah terdengar di masa sebelumnya.
Menyebut musikalitas mereka sebagai "baru" barangkali tak terlalu boleh diuntukkan, kecuali ada sesuatu yang sungguhan baru di bawah langit. Dalam itu, musikalitas "segar" kiranya bolehlah jadi sebutan lain.
Setengah orang bersangka, daripada gitaris intrumental kawakan, nama-nama baru cenderung didengarnya karena timbre gitar mereka lebih sesuai dengan karakter zaman ini yang, tak lagi peduli suara berat dan distorsi gahar. Musik instrumental menjelma lebih ringan dan renyah sekarang. Para genius muda seolah berlomba membuat genre tidak populer ini se-easy listen mungkin.
Di antara itu, Nick Johnston adalah genius gitar yang menarik dibahas. Siapa Nick Johnston? Dia otodidak yang telah melewati masa-masa frustasi dalam proses kreativitasnya, dan juga sudah menulis sekian musik sampah.
Lingkaran kehidupan kemudian membuatnya lebih terkenal sebagai musikus pemurung, yang bakal langsung mengingatkan kita pada seniman romantis abad ke-18.
Entah kekuatan gaib bernama apa yang membuatnya begitu berpreferensi mengaransir musik minor. Namun, dalam sebuah wawancara ia mengatakan, kalau Johnny Cash dan Pink Floyd adalah sejumlah idolanya. Keduanya, seperti sudah dijadikan meteran, merupakan contoh bagaimana dan apa musik orang depresi itu.
Komposisi musik Nick Johnston demikian suram, cemas dan menyedihkan, ballad-esque, malas-malasan, dan bertele-tele. Nick bermusik seolah tak ingin didengar orang lain. Ia rasa-rasanya bermain cuma buat menyenangkan dirinya sendiri---atau dalam bahasa Bertrand Rusell tersebutlah egocentric particular. Salah satu lagunya, Remarkably Human, bisa memperjelas itu.
Sepintas lalu, tabiat-tabiat Nick Johnston itu terlihat seperti kekurangan musikalitasnya (atau idealisme? Ah, apa pula bedanya?). Tapi, sebenarnyalah hal-hal itu menjadi kelebihannya. Dengan yang dipunyainya, Nick Johnston membuat musiknya begitu personal di telinga pendengar.
Ini bisa jadi adalah alur bagaimana sebuah lagu menjelma begitu personal; pada awalnya pengalaman pribadi dan alam pikiran Nick Johnston tak dimengerti oleh orang lain, tapi kemudian, ekspresi bermusiknya menjadi simptom yang memancing pendengar untuk pergi ke reaksi tertentu yang mungkin ia sengaja. Dari ekspresi itu (pilihan nada, ketukan, akor, frasa, dll) Nick membagi pikiran dan pengalamannya.