Lihat ke Halaman Asli

Apalah Arti Sebuah Nama (Ruyati)?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penulis drama dan puisi dari Inggris, William Shakespeare, sekali waktu melontarkan petuah yang menjadi ilham, hingga kini. "Apalah arti sebuah nama?". Satu frase tanya yang bisa disusupi banyak sudut pandang. Katakanlah, kita hendak berfikir positif, terlebih dahulu. Maka, fikiran pertama yang pertama terlintas ialah sosok yang tak kenal pamrih. Dia yang mengutamakan memberi daripada mencitrakan nama. Saya, dan yakin bahwa banyak teman lainnya, pernah mendapati donatur anonim bagi korban bencana, pelestari alam yang luput dari sorotan media, serta penabur ilmu yang mengarung gelombang ganas perbatasan tanpa pernah mengetahui istilah rapel 13 atau cuti bersam

Namun, kekhawatiran kita ialah semangat petuah tersebut dilirik secara menyimpang. Menyepelekan. Justru penyimpangan inilah yang banyak menulari pakem pikiran di negara kediaman bangsa kita ini. Bahwasanya, satu atau lebih nama yang terkorban tidak akan memberi dampak yang besar; terlebih-lebih, jika dia berasal dari kalangan yang terpinggirkan.

Bahsawanya nama tidak hanya melekat pada sosok manusia, benar adanya. Dengan demikian, posisi 'korban' juga dialami hewan dan tumbuhan (yang non-manusia). Tanpa mengesampingkan sisi tumbuhan, kasus yang paling mengena dalam menyimpangi petuah Shakespeare di atas ialah kebijakan pemerintah Australia menghentikan impor sapi ke Indonesia. Dasar kebijakan ini sendiri, mungkin hanya memancing sungging senyum, ialah menyusul laporan prosedur keji yang dialami sang sapi sebelum dagingnya 'menginap' di kaleng atau ruang pengawetan. Kosa kata "tidak beperikesapian" pun sontak tercetak dan tercetus di media massa.

Kosa kata ini bukan hadir sebagai lucu-lucuan saja. Ada pembatas yang semu antara kita dan negeri Kangguru melihat si Piko (jika memang sapi tersebut dinamai laiknya tokoh teman si Komo komodo) dicungkil matanya, leher dipuntir atau berbagai manuver penyiksaan, sebelum meregang nyawa. Perlakuan ini dapat teradaptasi sekian lama karena dilandasi pemahaman yang salah mengenai tata cara mengeksekusi seekor. "Toh, si Piko bakal mati menjadi hidangan bagi manusia. Apalah arti nama si Piko? Mohon koreksi saya, jika kalimat itulah yang kerap tersirat dalam benak sang eksekutor dan pemerintah yang menanggungjawabi para Piko-Piko ini.

Apalah arti sebuah nama (Ruyati)?

Tergelitik sanubari saya untuk memodifikasi sedikit frase tanya Shakespeare tersebut, sebagaimana tercantum menjadi sub judul. Ihwalnya, tentu sejumlah pemberitaan mengenai hukuman pancung yang mendera seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, bernama Ruyati. Siapa yang mengenal baik Ruyati, selain sanak keluarga, dengan status pekerja kasar tersebut? Wajar saja, munculnya sikap sepele tersebut setelah mengais jati diri seseorang yang tidak sepantaran dengan kita.

Ruyati tidak sendiri, sebelum-sebelumnya juga santer pemberitaan mengenai penyiksaan Sumiati, karena teramat sadis, wajahnya nyaris tidak dikenali lagi. Boleh saja, menyebut ada juga TKI yang 'beruntung' pulang dengan selamat membawa 'oleh-oleh' dalam rahimnya.

Runtut peristiwa yang berdekatan antara si Piko dan Ruyati memancing komparasi. Reaksi pemerintah Australia yang menghentikan impor daging sapi, mengapa tidak bisa menjadi teladan bagi pemerintah Indonesia?

Apalah arti sebuah nama (Ruyati), jika pemerintah dan bangsa Indonesia hanya tahu mengeksport tenaga trampil dan mendulang devisa dari mereka ini? Secara pribadi, Ruyati memang tidak istimewa. Adalah nasib penghukuman itu, hingga kini, membayangi rekan-rekannya di negara yang masih membutuhkan uluran tangan kita. Tentu saja, termasuk pemerintah.

Kita pasti merasa aneh, negara Australia berani mengambil sikap demi sapi kirimannya. Sebaliknya, bangsa dan pemerintahan kita amat bertolak belakang. Khususnya pemerintah yang memang memiliki akses dan kuasa penuh untuk menekan Arab Saudi agar mempertimbangkan hukuman mati atas Ruyati-ruyati lainnya.

Dengan demikian, ada arti sebuah nama dalam setiap sosok. Yakni, keterwakilan atas dasar aspirasi kebangsaan maupun pekerjaan. Pemerintah mendapat tugas berat menyelesaikan isu penyiksaan ini. Si Piko, Ruyati, maupun Sumiati kini hanya menjadi kisah-kisah yang menyentuh hati. Hati kita yang telah rusak akut oleh penyimpangan-penyimpangan. Apalah arti nama Ruyati? Jawabannya bisa beragam. Namun, satu yang perlu dicatat tingkat kepercayaan dan dukungan terhadap pemerintah kian menyusut pasca kasus ini. Bukankah Ruyati, Sumiati yang beperan menjadi 'lutut' berdirinya bangsa ini dari kepingan devisa hasil keringat mereka? Mereka yang tidak meminta pamrih agar nama mereka tercatat dalam sejarah bangsa. Sosok yang juga terbersit dalam ruang fikir positif, di awal tulisan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline