Grup Whatsapp beberapa minggu ini ramai dengan kabar virus korona. Share tentang apa itu virus korona cara penyebaran sampai cara mencegah pasti sudah mampir ke grup Anda.
Tak terkecuali dengan broadcast tentang tetap meramaikan masjid di tengah wabah ini. Bahkan ada yang bilang kalau anjuran untuk tidak datang ke masjid adalah upaya untuk menjauhkan dan mengalahkan umat islam.
Argumennya adalah salat itu wajib dan lebih baik dilakukan dengan berjamaah. Orang dengan semangat beragama tinggi akan terpancing dengan argumen ini dan terburu-buru untuk menyebarkan pesan tersebut ke grup lain di WA mereka.
Selain argumen di atas, ada lagi paham yang banyak ditemukan di obrolan warung kopi, kumpulan ibu-ibu, atau pos ronda bapak-bapak kalau hidup mati adalah takdir Allah. Walaupun pergi ke manapun ia akan dikejar kematian. Hal tersebut membenarkan sikap santai dan tak mau melakukan pencegahan dini pada virus ini.
Iman adalah ranah kepercayaan. Baik yang dapat dibuktikan oleh indera maupun yang tidak. Tetapi ketidaktahuan terhadap sesuatu obatnya bukan iman, tetapi ilmu.
Ketidaktahuan pada ilmu menanam padi cara mengatasinya bukan hanya yakin ia sembarang menanam dan akan tumbuh dengan sendirinya, tetapi pengetahuan tentang cara menanam dan cara merawat sehingga menghasilkan padi yang berkualitas.
Dua argumen di atas juga melupakan tentang tawakal. Tawakal bukan berarti terserah, tetapi berserah. Artinya ada sesuatu yang diupayakan. Ikhtiar menanam padi adalah mengetahui cara menanam, cara merawat, dan cara menjauhkan dan mengatasi hama. Masalah hasil akhir lain lagi.
Terpenting adalah sudah ada usaha maksimal yang berarti mengecilkan rasio gagal panen.
Dalam bidang pertanian saja kita mengenal pengendalian terhadap hama, lantas mengapa dalam bidang kemanusiaan kita meninggalkan poin ini. Memilih pasrah dan bersikap biasa saja pada virus korona. Tidak melakukan apa-apa sembari hanya menyerahkan takdir kepada Allah saja. Sebuah kata lain dari kemalasan.
Saat Umar bin Khattab mengunjungi Syam, ternyata sedang berlangsung pandemi (wabah), beliau kembali pulang. Kemudian Abu Ubaidah bertanya ''Apa engkau akan lari dari takdir Allah?''.
Umar bin Khattab menjawab "Iya, aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya''. Sekelas keimanan Umar saja melakukan ikhtiar dan tidak hanya pasrah terhadap wabah tersebut. Bagaimana dengan kita yang bukan sahabat nabi ini?