Lihat ke Halaman Asli

Anang Syaifulloh

Akun Pribadi

Banjir Sentani, Proses Manusia Menjadi Raksasa

Diperbarui: 20 Maret 2019   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembalakan liar tak dapat dipandang sebelah mata sebagai tindak pidana biasa karena kerugian negara, berdasarkan versi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mencapai Rp30,3 triliun per tahun. (nationalgeographic.grid.id)

Tiga hari kemarin, hujan seharian melanda Malang tempat saya kuliah saat ini. Dini hari sampai siang hari hujan tidak berhenti. Bahkan sampai mejelang magrib pun hujan tetap mengguyur meskipun tidak selalu deras.

Ternyata tidak hanya Malang saja, teman saya yang berada di daerah Tulungagung dan Bantul juga mengatakan yang sama. Hari itu, banjir melanda Sentani, Jayapura dan Bantul, Yogyakarta. Bahkan yang terjadi di Sentani adalah banjir bandang yang membawa lumpur, pohon, dan material lain dari pegunungan.

Data terakhir jumlah korban banjir bandang yang meninggal sebanyak 89 orang dan 206 masih hilang. Sementara itu, 4.728 jiwa mengungsi di 6 titik pos penampungan. Jumlah penyintas terbesar, yaitu 1.450 jiwa, terdapat di BTN Gajah Mada (Okezone.com).

Banjir disebabkan oleh hujan deras selama 7 jam yang mengguyur wilayah tersebut. Namun, menurut Walhi, banjir bandang tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor alam (hujan deras) melainkan ada campur tangan manusia melalui alih fungsi lahan yang tidak sesuai dan pembalakan hutan yang menyebabkan tutupan pohon di Cagar Alam Cycloop hilang.

tirto.id

Tidak heran apabila banjir bandang tersebut membawa lumpur dan pohon dari Cagar Alam Cycloop. Hilangnya daya rekat tanah karena pohon yang telah ditebangi memudahkan tanah terbawa air. Sebuah pelajaran dasar lingkungan yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Pada 2015 yang lalu hutan di gunung ini juga mengalami kebakaran seluas 10 hektar.

Pembalakan liar, pendirian bangunan, dan alih fungsi lahan di daerah cagar alam membuktikan adanya ketidakpedulian dari pemerintah dan pihak di atas pada lingkungan. Mitos-mitos yang menguntungkan tentang lingkungan yang telah diyakini dan dianut masyarakat lokal perlahan pudar.

Pembalakan liar, suara.com

Padahal mitos tentang hubungan manusia dan alam tersebut berperan dalam menjaga keseimbangan alam. Seperti contoh masyarakat Baduy yang memiliki kawasan konservasi yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali sebagai kawasan keanekaragaman plasma nutfah. Daerah lain kemungkinan besar punya peraturan adat yang sama dengan penerapan yang berbeda.

Orang-orang yang tidak mengindahkan lingkungan inilah yang disebut sebagai golongan raksasa oleh Galih Wijil Pangarsa dalam buku Merah Putih. Mereka meyakini hanya ada satu makhluk dan bebas bertindak.

Tidak ada kehidupan yang oleh Clare Palmer, dalam Light and Rolston disebut sebagai kehidupan holistik yaitu pendekatan etika lingkungan, individual, dan keseluruhan lingkungan (echological wholes), lebih melihat ekosistem dan atau spesies dan biosfir sebagai keseluruhan.

Dalam benak para raksasa, yang ada hanyalah perebutan kekuasaan, politik, ekonomi, dan sosial. Walaupun harus mengorbankan alam sekitar dan masyarakat luas tidak masalah karena mereka menganut pedoman siapa yang kuat maka ia akan bertahan hidup.

Jiwa yang dimiliki adalah jiwa hedonis-glamoristik penuh kemewahan, mementingkan diri sendiri, tidak akomodatif menampung berbagai kepentingan dan tidak ekologis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline