Selama ini Amerika Serikat dikenal sebagai negara adidaya yang gemar mengobarkan perang. Rekam jejak berdarah Amerika tercatat amat panjang, penuh bau mesiu dan amis darah. Masih di awal abad ke 21 ini saja, jejak-jejak berdarah mereka telah bertebaran di berbagai negara; dari Afghanistan, Irak, Libya hingga ke Suriah. Akibatnya korban harta dan jiwa terus berjatuhan. Gelombang deras pengungsi yang mengalir dari negara-negara konflik menjadi tak terelakkan. Semua negara terpaksa harus merasakan dampak dari 'hobi penumpah darah' pemerintah Amerika beserta para sekutunya.
Kita lihat saja, Oktober tahun 2001 tentara Amerika menyerbu ke Afghanistan dan sebulan kemudian pemerintahan Taliban jatuh. Pada Maret 2003, bersama para sekutunya, Amerika mulai menginvasi Irak. Belum sampai 2 bulan, Baghdad dan berbagai kota di Irak sudah luluh lantak, Saddam Hussein akhirnya berhasil digulingkan. Setelah terselang jeda waktu yang agak lama, pada Februari 2011, dengan bendera NATO dan mengatasnamakan intervensi kemanusiaan, 'Sang Polisi Dunia' bersama sekutu dan para pemberontak menyerbu Libya. Enam bulan kemudian Muammar Qaddafi, sang pemimpin Libya berhasil dijatuhkan dan dibunuh pemberontak. Dan yang mutakhir, pada Maret tahun 2011, bersama sekutu-sekutunya seperti Israel, Inggris, Prancis, Saudi, Qatar dan Turki, Amerika mensponsori sebuah pemberontakan bersenjata untuk menjatuhkan pemerintahan Bashar Al Assad di Suriah. Namun meskipun pemberontakan sudah berlangsung lebih dari 5 tahun, komplotan Amerika cs masih tetap gagal menjatuhkan Al Assad.
Demi meraih dukungan negara-negara lain dan mendapatkan simpati publik dunia atas berbagai invasinya itu, atau minimal untuk mengurangi kecaman publik dunia, Washington selalu mencari-cari dalih pembenar. Barangkali karena merasa sebagai negara adidaya, rezim Amerika kerap memaksakan logika penopang dalih tersebut pada publik dunia. Kendati logika Gedung Putih berulang kali terbukti salah besar dan tanpa didukung data dan fakta yang valid, namun ironisnya masih banyak negara-negara lain dan sebagian publik dunia yang mengamini dan menganggapnya benar.
Pada penyerbuan ke Afghanistan, George W. Bush, Presiden Amerika saat itu, berdalih bahwa Taliban mempunyai afiliasi dengan Al Qaeda yang dipimpin Usamah bin Laden, orang yang dituding Gedung Putih berada di balik teror mengerikan 9/11, yang membuat gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York meleleh bagaikan lilin terbakar dan menewaskan lebih dari 4000 jiwa. Bush menganggap Taliban harus ikut bertanggung jawab atas tragedi itu karena hubungannya dengan miliarder kesohor Arab Saudi itu.
Pada invasi ke Irak, Bush menyampaikan propaganda bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal yang amat membahayakan kelangsungan hidup seluruh umat manusia. Oleh karena itu untuk melucutinya, Saddam harus digulingkan. Ribuan bom kemudian menghujani dan menghancurkan Baghdad dan kota-kota lain di Irak. Pemerintah Irak berhasil ditumbangkan. Saddam sendiri akhirnya tertangkap di tempat persembunyiannya dan dihukum mati. Setelah negeri 1001 malam itu dihancur leburkan Amerika, ternyata senjata pemusnah massal itu tak ditemukan!
Sementara pada 'intervensi kemanusiaan' di Libya, Presiden Amerika, Barack Obama, mengklaim intervensi militer yang dilakukan NATO itu untuk menyelamatkan penduduk sipil dari kekejaman Muammar Qadaffi dalam menghadapi aksi-aksi demonstrasi menuntut pengunduran diri sang pemimpin Libya itu. Setelah Qaddafi tumbang, ternyata cita-cita para pemberontak yang berpaham Salafi Wahabi itu untuk mendirikan khilafah di Libya tak pernah terwujudkan. Perbedaan paham antara mereka sendiri saja tidak mungkin untuk didamaikan. Yang terjadi sekarang adalah bentrokan antar pemberontak sendiri yang menimbulkan kekacauan demi kekacauan berdarah. Sementara mereka asyik bertikai sendiri, kekayaan sumber minyak mereka dijadikan 'pesta minyak murah' oleh para korporasi negara-negara Barat pemenang perang. Libya yang dulu makmur di bawah Qaddafi kini terancam menjadi negara gagal.
Dan yang terakhir, di Suriah, Amerika-Saudi cs menggunakan pola-pola yang mirip dengan di Libya untuk menjatuhkan Presiden Bashar Al Assad. Mereka mengorganisir dan mendanai demonstrasi menentang Al Assad, tapi usaha jahat ini gagal memprovokasi rakyat Suriah untuk menjatuhkan presidennya karena mayoritas rakyat tetap mendukung kepemimpinan sang presiden. Menghadapi kegagalan mereka memprovokasi rakyat Suriah, Amerika-Saudi cs tak putus asa. Mereka segera meniupkan isu sektarian Sunni-Syiah dan menyebarkan berbagai propaganda yang menjelek-jelekkan dan menyudutkan Presiden Bashar Al Assad. Gelontoran dana dan senjata pun mereka alirkan kepada siapa saja yang mau memberontak kepada presiden Suriah. Tak lupa berbagai pelatihan diberikan untuk menghadapi tentara Arab Suriah yang tetap loyal kepada pemimpinnya.
Maka kemudian berbondong-bondong manusia-manusia berideologi ekstrim Salafi-Wahabi memasuki Suriah lewat pintu gerbang utama di Turki menyambut seruan Amerika-Saudi cs. Dengan dukungan Amerika-Saudi cs, maka terbentuklah berbagai faksi teroris pemberontak di Suriah seperti Free Syrian Army (FSA), Syrian National Council (SNC), Jabhat Al Nusra, Ahrar Al Sham, ISIS dan lain-lain. Meskipun para teroris pemberontak itu bernaung dalam berbagai faksi yang berbeda dan tak jarang terjadi bentrokan berdarah di antara mereka karena perbedaan pemahaman -- meski sama-sama Salafi Wahabi -- dan kepentingan, mereka tetap mengemban tugas yang sama dari tuan-tuan mereka yaitu menjatuhkan Presiden Suriah Bashar Al Assad.
Jadi kedengarannya lucu ketika beberapa hari yang lalu, salah satu media mainstream Barat, Wall Street Journal merilis sebuah berita yang menyebutkan bahwa 51 diplomat Kemenlu pemerintah Amerika Serikat menandatangani petisi yang isinya mendesak Presiden Barack Obama supaya mengirimkan pasukan ke Suriah untuk menggulingkan Presiden Bashar Al Assad. Seperti narasi konyol yang selama ini Gedung Putih kumandangkan, para diplomat itu beralasan bahwa menggulingkan Al Assad adalah satu-satunya cara untuk mengalahkan ISIS.
Seperti sebuah acara stand up comedy yang berusaha menciptakan kelucuan agar penonton tertawa terpingkal-pingkal, meskipun bukan hal yang baru, namun berita dari salah satu media mainstream Barat itu tetaplah lucu karena mengingatkan kita pada narasi Barat tentang konflik Suriah yang selama ini menjungkirbalikkan logika. Coba dipikirkan, Amerika-Saudi cs dan komplotannya yang lain telah mendukung (baik secara dana, senjata, logistik, propaganda dan lain-lain) habis-habisan kelompok-kelompok teroris pemberontak -- termasuk ISIS yang merupakan faksi teroris pemberontak terkuat -- untuk menjatuhkan presiden Suriah Bashar Al Assad, lalu bagaimana mungkin Amerika-Saudi cs mau menjatuhkan Al Assad lalu mengalahkan ISIS?
Logika macam apa ini yang dipertontonkan penguasa Amerika dalam konflik Suriah? Bukankah ini hanyalah sebuah acara "stand up comedy ala Amerika"? Namun yang ironis, banyolan ala Amerika ini amat berlumuran darah, darah rakyat Suriah dan Irak dimana para teroris pemberontak yang didukung Amerika-Saudi cs tak pernah berhenti membantai mereka.