Lihat ke Halaman Asli

Anang Wicaksono

Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Kutukan Tradisi Kebohongan Gedung Putih: Kita yang Bodoh atau Mereka yang Jenius?

Diperbarui: 26 Februari 2016   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="( Foto : pixabay.com )"][/caption]

Kebohongan Amerika Serikat kepada publik dunia sudah berulang kali terjadi. Bahkan seperti sebuah kutukan yang telah menjadi tradisi turun temurun. Jejak kebohongan Gedung Putih ini sudah terlacak sejak Perang Dunia 1, Perang Dunia 2, Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Balkan bahkan sampai konflik mutakhir seperti krisis Libya dan Suriah.

Namun anehnya, sebagian besar dari kita sebagai publik dunia tetap saja menelan mentah-mentah apa pun yang diberitakan -- tepatnya dipropagandakan -- oleh mereka beserta para media pendukung mereka. Fakta inilah yang melahirkan pertanyaan bagi saya, sebenarnya kita yang bodoh atau memang mereka yang jenius, sehingga begitu piawai memoles kebohongan sebagai kebenaran untuk memuluskan ambisi dan mencapai tujuan mereka?

Barangkali yang paling melekat di benak publik adalah bualan Presiden Amerika Serikat saat itu, George Walker Bush, tentang Saddam Hussein yang ditudingnya memiliki senjata pemusnah massal yang bisa mengancam perdamaian dunia. Oleh sebab itu, -- narasi yang terbangun adalah -- bagaimana pun juga Saddam harus digulingkan. Setelah dunia mempercayai bualan Bush dan mendukung agresi militer Amerika ke Irak, apa yang terjadi kemudian?

Tahun 2003 Irak diserbu dan dihancur-leburkan. Baghdad luluh lantak, ribuan jiwa melayang, Saddam terguling, dan senjata pemusnah massal itu tidak ditemukan! Bush atas nama Presiden AS ternyata telah terbukti berbohong. Untuk semua kebohongan itu dan segala akibatnya, sama sekali tidak ada pernyataan penyesalan atau permintaan maaf dari Gedung Putih. Bahkan PBB pun seperti orang lumpuh yang hanya bisa diam melompong menyaksikan kebohongan dan kepongahan Amerika sang agresor.

Presiden Amerika saat ini, Barack Obama, ternyata juga tidak bisa menghindar dari kutukan tradisi kebohongan Gedung Putih. Kiprah kebohongannya dimulai pada tahun 2011 dalam konflik Libya, negara terkaya di benua Afrika. Dengan dalih mendukung aspirasi rakyat Libya yang 'tertindas', dan bergandengan tangan dengan Al Qaida, NATO turun tangan melakukan 'intervensi kemanusiaan'. Tidak jauh berbeda dengan nasib Irak, Libya pun luluh lantak dan Presiden Muammar Qadafi terbunuh.

Kemudian seperti segerombolan srigala yang telah melumpuhkan sang mangsa, mereka lalu menikmati kemenangan sembari mengunyah-ngunyah mangsanya. Minyak murah Libya mengalir ke tanker-tanker sang pemenang perang, negeri Paman Sam itu. Pembangunan infrastruktur Libya yang hancur lebur jatuh ke tangan para juragan konstruksi dari negara-negara Barat. Dan kini Gedung Putih seakan juga tidak peduli dengan kekacauan yang timbul di Libya akibat agresi militer mereka.

Tidak cukup hanya di Libya, petualangan berdarah Obama akhirnya berlanjut memasuki Suriah. Masih dibawah kutukan tradisi kebohongan Gedung Putih, petualangan berbahaya di Suriah ini pun diawali dengan kebohongan yang berisi propaganda kekejaman Presiden Bashar Al Assad yang 'Syiah' -- padahal seorang Alawi -- terhadap penduduk Suriah yang Sunni. Padahal sebelum meletusnya pemberontakan bersenjata yang disponsori oleh Barat dan monarki Arab itu, tidak ada berita-berita yang menyebutkan kekejaman Al Assad.

Semenjak pemberontakan bersenjata berkecamuk di Suriah, propaganda yang bertujuan untuk memancing sentimen sektarian Sunni-Syiah itu dengan cepat disebarkan ke seluruh dunia oleh media Barat dan media-media radikal berkedok Islam. Propaganda sesat itulah yang memancing para ekstrimis seluruh dunia untuk berdatangan ke Suriah untuk meneror rakyat dan pemerintahan Al Assad.

Kebohongan berikutnya adalah tentang klasifikasi pemberontak moderat dan pemberontak radikal. Padahal kenyataannya, bisa dikatakan hampir seluruh kelompok pemberontak adalah radikal. Lihat saja ideologi mereka yang wahabi/salafi ekstrim, ideologi yang dianut para teroris dan merupakan ideologi resmi monarki Saudi Arabia yang berusaha diekspor ke seluruh penjuru dunia. Lagi pula, kalau yang namanya pemberontakan bersenjata, bagaimana bisa disebut dengan moderat? Free Syrian Army (FSA) misalnya, yang disebut pihak Barat sebagai oposisi moderat, ternyata sama kejamnya dengan ISIS. Begitu pula kelompok-kelompok pemberontak yang lain, ya 11/12 lah dengan ISIS atau Jabhat Al Nusra.

Kebohongan Amerika cs selanjutnya yang sangat konyol alias menggelikan adalah pembentukan koalisi pimpinan Amerika untuk menumpas ISIS. Bagaimana tidak konyol? Tujuan Amerika cs mendukung para pemberontak bersenjata adalah untuk menumbangkan pemerintah Suriah dibawah pimpinan Presiden Bashar Al Assad. Dan ISIS adalah faksi teroris pemberontak terkuat di Suriah. Bagaimana mungkin Amerika cs menyia-nyiakan dan menepis tangan pemberontak terkuat yang hendak menjatuhkan Al Assad? Dan bagaimana kenyataan dari hasil aksi koalisi konyol pimpinan Amerika cs melawan ISIS selama ini? ISIS malah semakin kuat dan daerah yang dikuasainya malah semakin luas!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline