Lihat ke Halaman Asli

Anang Wicaksono

Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

MKD yang Tergadai

Diperbarui: 8 Desember 2015   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika 'Yang Mulia' Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) -- Kahar Muzakir dari Fraksi Golkar -- mengetok palu bahwa sidang MKD dengan terlapor Setya Novanto (SN) atas permintaan yang bersangkutan akan dilakukan secara tertutup, saya merasa tak ada lagi yang bisa diharapkan dari MKD. Apalagi sebelumnya MKD atas permintaan SN menunda waktu sidang dari yang seharusnya jam 09.00 menjadi jam 13.00 karena adanya agenda tidak jelas SN, yang itu pun ternyata juga molor. Dua hal ini saja sudah bisa mengindikasikan betapa kuatnya pengaruh dan lobi SN di kalangan anggota dan pimpinan MKD. 

Sidang itu sendiri ternyata hanya diisi pleidoi SN yang masih berkutat mempermasalahkan legal standing pelapor dan legalitas rekaman percakapan "Papa Minta Saham". Dengan dasar itu pula SN bersikeras tidak mau menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan rekaman yang sebenarnya merupakan substansi dari kasus tersebut.

Kegarangan MKD yang dipertontonkan dengan tidak semestinya pada dua sidang terdahulu kali ini lenyap entah kemana. Terhadap pelapor SS dan saksi MS mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan garang seperti mau menguliti, namun terhadap terlapor SN mereka lembek seperti ular kena pukul. Dengan bebal MKD tetap mengusung logika peradilan terbalik yang amat memprihatinkan.

Pada awalnya saya dihinggapi rasa pesimis pada sidang MKD "Papa Minta Saham", namun seperti ada secercah harapan ketika dua sidang MKD terdahulu yang menghadirkan pelapor Menteri ESDM Sudirman Said (SS) dan Presdir Freeport Indonesia Ma'roef Syamsudin (MS) berlangsung secara terbuka. Bagi saya saat itu, harapan akan tetap terpelihara bila sidang-sidang MKD selanjutnya berlangsung secara terbuka sehingga publik bisa mengawasi dan mengawal jalannya sidang. 

Saya bahkan berandai-andai -- dalam artikel saya sebelumnya -- bila sidang MKD selanjutnya berjalan dengan benar, menarik untuk ditunggu bagaimana nanti cara SN berkelit dari semua tudingan itu. Atau mungkinkah SN masih memiliki sepenggal kehormatan untuk memainkan lakon sebagai "Papa (yang) Minta Ampun" dan secara ksatria mundur dari kursi Ketua DPR?, begitu pertanyaan saya.

Namun setelah sidang MKD dengan terlapor SN kemarin berlangsung tertutup, kini semua sinar harapan pada MKD sirna tertutup oleh gumpalan kebebalan mereka sendiri. Apalagi yang bisa diharapkan dari sidang yang sengaja ditutup-tutupi dari mata publik yang sebenarnya mempunyai hak penuh untuk mengawasi pimpinan dan anggota DPR? 

Bukankah DPR 'katanya' adalah wakil rakyat? Kalau memang demikian, mengapa rakyat tidak boleh mengawasi segala tingkah polah wakilnya di parlemen maupun di luar gedung parlemen? Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dari mata rakyat sehingga MKD begitu bebalnya memenuhi permintaan SN agar sidang dilangsungkan secara tertutup? 

Sekarang tak ada lagi yang tersisa dari MKD, juga DPR. Tak ada lagi. Yang ada hanyalah onggokan kebebalan  yang selama ini tanpa rasa malu mereka pertontonkan  kesana-sini dalam semua sepak terjang mereka.

MKD telah mencampakkan nurani kebenaran. Dengan menafikan kepentingan bangsa dan negara, MKD bahkan tega menggadaikan diri pada kepentingan segelintir elit politik. Dan terhadap tindakan khianat wakil-wakilnya itu, rakyat berhak menghukum mereka yang tidak amanah. Terlalu lama untuk menunggu pemilu 2019, rakyat bisa menghukum partai pendukung SN -- Golkar, Gerindra dan PKS -- pada Pilkada serentak besok tgl 9 Desember 2015 dengan tidak memilih calon kepala daerah yang mereka usung.

 

Sumber Gambar : Detik.com

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline