Sepekan masa kampanye partai politik, media massa banyak mengangkat persoalan keterlibatan anak dalam kampanye. Bukan kali ini saja, setiap pesta demokrasi persoalan ini selalu menjadi isu yang popular. Hingga saat ini Bawaslu dalam UU Pemilu dan Peraturan KPU nomor 15 tahun 2013 dengan tegas menyatakan adanya larangan pelibatan anak dalam kampanye dan hal tersebut merupakan suatu pelanggaran.
Demikian pula Komnas Perlindungan Anak juga menyatakan bahwa kampanye dengan melibatkan anak juga melanggar UU Perlindungan Anak. Meskipun sudah ada aturan, pada kenyataannya masih banyak partai politik yang dalam kampanyenya terlihat ada anak-anak didalamnya (Jawa Pos , 20 Maret 2014).
Salah satu alasan pelarangan tersebut karena pelibatan anak-anak berpotensi terjadinya ekploitasi anak. Saya sependapat bahwa anak harus dilindungi fitrohnya, terhindar dari hal-hal yang mengganggu kejiwaan, kesehatan dan keselamatannya. Maka ketika partai politik penyelenggara kampanye tidak bisa memberikan jaminan terhadap keamanan jiwa dan keselamatan fisik seorang anak, memang sangat patut apabila hal tersebut dikatakan sebagai sebuah pelanggaran.
Apalagi kalau dengan sadar dan sengaja, melakukan usaha untuk memobilisasi dan mengerahkan masa anak-anak dalam kampanyenya. Anak diberikan kostum dandanan yang tidak layak, dan disuguhkan tampilan-tampilan yang buruk, erotis dan tidak senonoh, tidak lagi ekploitasi tetapi merusak jiwa anak, terlebih di waktu sekolah. Yang seperti ini sangat tepat untuk dilarang.
Namun, ada fenomena dalam kampanye, yang mana anak yang hadir bukan karena mobilisasi dari partai politik, melainkan karena inisiatif orang tua, Bawaslu menyatakan ini bukan merupakan suatu pelanggaran.
Saya sepakat, sepanjang orang tua bisa menjaga keamanan dan keselamatan anaknya, why not? Setiap orang tua yang mampu bertanggung jawab melindungi anaknya sah-sah saja membawa anak dalam kampanye. Tentunya dengan sebuah syarat besar, orang tua harus memastikan bahwa partai politik penyelenggara kampanye tersebut bisa menjamin aktifitas didalamnya tidak mengandung kekerasan, kenistaan, kekejian, pelecehan, aniaya dan penghinaan.
Sehingga, ketika sebuah kampanye partai politik bisa menghadirkan sebuah sajian yang sehat yaitu menggugah orang untuk berbuat kebaikan, membakar semangat untuk mencintai tanah air, mencintai bangsa, membangun visi peradaban negeri, serta disajikan secara santun dan beradab, maka itu adalah sebuah bentuk langkah pencerdasan masyarakat Indonesia. Bagi seorang anak yang ikut orang tuanya, maka itu akan menjadi sebuah pembelajaran kelak untuk memiliki mental seorang pahlawan sejati.
Peka Realita
Dalam ranah pendidikan anak, kepribadian dan karakter seorang anak memang banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Secara fitroh, setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Fitroh yang suci ini ketika bertemu dengan lingkungan sekitar yang baik maka akan berkembang menjadi sebuah potensi diri yang dahsyat. Sebaliknya fitroh yang suci ketika berkumpul dengan lingkungan yang buruk, yang terjadi adalah sebuah kesesatan yang nyata.
Dari lingkungannya, anak belajar dengan cara melihat, mendengar dan merasakan.Ketika yang dilihat, didengar, dirasakan anak adalah sesuatu yang baik, maka jiwa anak akan terinspirasi untuk berbuat baik. Sebaliknya, apabila yang dilihat, didengar dan dirasakan sesuatu yang buruk, maka jiwa akan terdorong untuk melakukan kebatilan. Dengan demikian, ketika anak mengikuti orang tuanya dalam kampanye yang sehat, insyaallah justru akan memberikan nilai edukasi yang baik bagi jiwanya.
Tidak dapat dipungkiri, budaya kampanye yang sedang berlangsung dinegeri ini merupakan salah satu dinamika kehidupan bangsa dan negara yang keberadaannya secara real dapat dilihat dan dirasakan oleh siapapun, tak terkecuali anak. Banyaknya atribut-atribut dijalan, massa yang berkumpul, orang yang berpidato, mengundang daya tarik besar bagi anak. Melarang anak untuk mengetahui, bertanya tentang apa yang sedang terjadi saat ini karena orang dewasa menganggap tidak ada hubungannya dengan anak, sungguh sebuah pembodohan bagi anak. Karena itu berarti memisahkan anak dari realitas hidupnya.
Memahami realitas hidup sangat penting sebagai upaya membuka celah direlung hatinya untuk memiliki kepekaan terhadap situasi dan kondisi disekitarnya. Bagi orang tua yang cerdas, momentum ini merupakan satu kesempatan belajar, untuk mengenalkan anak bagaimana realitas lingkungannya. Tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Pelajaran ini adalah modal untuk kelak menjadi seorang pemimpin.
Persiapkan kader tangguh
Nasehat Ali Bin Ali Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan jamannya karena mereka akan hidup pada jaman yang berbeda dengan jamanmu “. Kita tidak pernah tahu seperti apa jaman anak kita dewasa kelak. Maka mempersiapkan anak sejak dini untuk terbuka terhadap semua realitas kehidupan akan menjadi bekal yang sangat berarti baginya untuk survive dijamannya.
Masalah Politik, ekonomi, sosial adalah realitas kehidupan yang tidak boleh ditiadakan dari kehidupan anak karena alasan masa anak adalah masa bermain. Sependapat bahwa anak tidak boleh kehilangan masa bermainnya, namun bukan berarti anak harus steril dari realitas yang melingkupinya.
Mengenalkan anak pada realitas kehidupan politik bukan sedangkal berbicara mengenai perebutan kekuasaan belaka, namun lebih luas mengajarkan anak,bagaimana bersikap dan berperilaku sebagai seorang anggota masyarakat. Bagaimana menanamkan cita-citanya. Bagaimana berprestasi untuk mengharumkan negeri. Bagaimana membangun visi kepemimpinannya.
Mengenalkan anak pada realitas politik tidak membuat anak kehilangan masa bermainnya. Demikian pula mengenalkan anak pada realitas kehidupan ekonomi dan social, akan mendorong anak untuk belajar peduli, emphati pada sesama dan tidak menghilangkan masa bermainnya. Karena pada dasarnya bermain adalah aktivitas menyenangkan dan anak selalu akan melakukannya, karena memang fitrohnya bermain, sekalipun dalam otak mereka ada banyak ilmu dan informasi. Sehingga tidak ada hal yang mengkhawatirkan ketika anak memiliki pengetahuan mengenai persoalan politik, ekonomi, social. Karena hal tersebut bukan sesuatu yang dikotomi dalam kehidupan kita sebagai manusia yang beragama.
Sebagaimana nasehat Al Qur’an surat An Nisa ayat 9, “Hendaklah mereka takut kepada Allah jika meninggalkan generasi yang lemah dibelakang mereka, yang mereka khawatiri terhadap kesejahteraannya.
Generasi yang lemah menurut saya adalah generasi yang tidak mengenal realitas kehidupannya. Generasi yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Generasi yang tidak memiliki aqidah kuat. Generasi yang tidak mampu membedakan kebenaran dan kebatilan. Generasi yang silau dengan materi. Generasi yang toleran dengan pornografi dan pornoaksi. Generasi yang tidak memiliki visi hidup masa depan.
Untuk menjadi generasi kuat maka anak harus melek dengan realitas kehidupannya. Mengikutsertakan anak dalam kampanye sehat menjadi salah satu sarana edukasi untuk menjadikan anak sebagai generasi yang kuat dan tangguh. Duapuluh tahun lagi anak-anak yang akan menentukan arah kebijakan negeri Indonesia tercinta ini.Jika isi kepala mereka kosong, hati mereka lemah, bagaimana nasib negeri ini? Kalau negara-negara yang dikatakan maju saja sedemikian rupa menyiapkan generasi masa depannya dengan doktrin kewarganegarannya, adakah kita masih apriori dengan pendidikan politik untuk anak-anak Indonesia?
Tulisan ini sebagai “Tanggapan Opini Jawa Pos 20 Maret 2014, tentang Kampanye tanpa Anak”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H