Lihat ke Halaman Asli

Anand Krishna

Humanis Spiritual, Penulis

Mulat Sarira Hangrasa Wani

Diperbarui: 18 Januari 2021   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kita sudah Sering Sekali Mendengar bahwa kritik yang membangun mesti diterima. Menolaknya berarti menolak perbaikan, perkembangan dan pertumbuhan. 

Sementara itu, Guru saya selalu mengingatkan bahwa semua kritik baik adanya. Tidak ada kritik yang menjatuhkan, semuanya membangun. Kritik apapun mesti diterima sebagai sarana untuk melakukan atma-chintan, self-introspection atau introspeksi diri. 

Dalam tradisi Jawa kita memiliki petuah yang luar biasa: Mulat Sarira Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Angrungkebi. 

Untuk memahami kearifan yang terkandung dalam petuah ini, kita tidak bisa menyingkat-nyingkatkan artinya, atau memenggalnya sesuka kita, kemudian memilih penggalam yang lebih convenient, lebih nyaman dan mudah bagi kita.

Kita perlu Memahami Pitutur ini secara utuh. Teringat penjelasan yang pernah diberikan oleh Pangeran Hadiwijoyo, Pendiri Universitas Saraswati di kota kelahiran saya, Surakarta, kepada ayah saya, yang kemudian Beliau terjemahkan dalam bahasa Sindhi dan menulisnya dalam buku harian beliau.

Terjemahan ulang ini dari bahasa Sindhi: "Keberanian untuk Melihat baik kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan, maupun kekuatan-kekuatan dan kebaikan-kebaikan di dalam diri; kemudian, Ikut Bertanggung Jawab atas penemuan itu; terakhir, Kewajiban untuk Menjaga Kebaikan dan Memperbaiki Kesalahan."

Banyak di antara kita saat ini yang hanya menggunakan penggalan Mulat Sarira untuk membenarkan kemauan kita, ego kita, keakuan kita, dan keengganan kita untuk memperbaiki diri.

Jika Kita mau Belajar dari Sejarah, peradaban-peradaban yang hanya berpegang pada konsep puratana - "yang lama itu selalu baik" atau sebaliknya, "yang lama sudah kadaluarsa semua dan mesti di tinggalkan" - telah punah tanpa bekas.

Peradaban-peradaban tua yang masih eksis hanyalah yang berani menoleh ke dalam diri, membebaskan diri dari beban kebiasaan-kebiasaan di masa lalu yang tidak berguna, namun tetap melestarikan nilai-nilai luhur yang masih relevan. 

Demikian, peradaban-peradaban tersebut meremajakan dirinya dari waktu ke waktu dan menjadi nita-nutana, selalu segar, selalu baru. Dan, sekaligus sanatana, eternal, abadi. 

Seperti yang dikatakan oleh Begawan Patanjali dalam Yoga Sutra, bahwasanya ada nilai-nilai luhur yang mesti selalu dijunjung tinggi tanpa kompromi. Nilai-nilai tersebut berlaku sepanjang masa. Misalnya: Kebenaran, Kejujuran, Keberanian yang Bertanggung Jawab, Kedamaian, Kasih Sayang dan sebagainya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline