Lihat ke Halaman Asli

Ketika Hujan Turun

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gemuruh menghentikan lamunanku sejenak, kupalingkan wajahku dari tumpukan buku yang sedang kubaca, kulayangkan sepasang mataku pada jendela kamar. Langit berubah menjadi mendung seketika, awan-awan putih yang membumbung di angkasa, berubah menjadi abu-abu kelabu. Bau anyir tanah terbawa angin melewati hidungku, sepertinya hujan akan segera turun.

* * *

Dulu waktu aku kecil bila gemuruh menggelegar, aku tutup dua telingaku kututup dengan bantal dan menenggelamkan kepalaku dibawahnya. Aku takut gemuruh, aku takut bunyi hujan yang deras, aku tidak suka hujan. Hujan seperti orang yang sedang marah, dalam pikiranku, bunyi gemuruh itu seperti suara orang dewasa yang sedang berteriak memarahi anak kecil yang nakal.

Hingga pada suatu saat, ketika hujan kembali turun dan gemuruh memekikan suara keras di kedua telingaku, kembali aku membenamkan kepalaku di bawah bantal. Ibu yang sedari tadi melihat tingkahku didalam kamar, tersenyum geli melihat kepalaku yang dibenamkan dibawah bantal dalam-dalam. Beliau menarik bantal yang kupegang erat dan kuletakkan di atas kepalaku. Seketika aku menaruh kedua tanganku di kedua telingaku karena suara gemuruh yang terdengar begitu kencang di telingaku. “Ibuuuuuu, aku takuttttt” rengekku padanya.

Ibu melepaskan kedua tanganku pada telingaku, “Coba kamu dengar suara hujan yang diluar sana, merdu ya?”.

“Apanya yang merdu Bu..!” Jawabku dengan memanyunkan bibirku.

“Aku takut Bu, suara gemuruhnya seperti orang yang sedang marah-marah, angin yang menerpa ranting pohon di depan jendela itu, seperti orang marah yang sedang mengetuk jendela, dan bau anyir tanah yang terkena air hujan itu juga aku tak suka Bu”

Lalu ibu tertawa, mendengar penjelasanku. “Kamu itu ada-ada saja, masa hujan turun di samakan dengan orang yang lagi marah-marah, kalau begitu sama dong kayak Bapak yang lagi marahin kamu Anya”

Lalu aku tertawa mendengar ibu menyamakan gemuruh hujan seperti bapak yang sedang marah. Kurangkulkan kedua tanganku untuk memeluknya, kubenamkan kepalaku didadanya, sembari berbisik “Aku tidak suka hujan Bu..”.

Kemudian Ibu menuntunku keluar kamar, melewati ruang makan, dan keluar melewati pintu belakang menuju halaman. Aku mengikutinya dari belakang, memegang daster bunga-bunga yang dikenakannya erat-erat.

“Ibu.. Anya ga mau hujan-hujanan diluar, Anya takut Bu..”

“Kamu tau tidak Anya?, Hujan itu untuk sebagian orang adalah berkah, hujan itu dinanti sayang, lalu kenapa kamu takut?.” Ungkap Ibu.

“Hujan itu dinanti untuk anak-anak seumuran kamu yang mengandalkan rejekinya dari mengojek payung kala hujan, hujan dinanti para petani yang ingin menanam padinya tapi kekurangan air, hujan itu akan menjadi air cadangan didalam tanah yang berguna untuk manusia Anya.”

Ibu bilang, dahan-dahan pohon palem yang menari-nari diterpa angin itu seperti penari yang sedang memperagakan suatu tarian, dan gemiricik air yang jatuh menghempas genteng itu, seperti suara gamelan yang mengiringi penari-penari itu.

Aku mulai menyukai hujan, penjelasan Ibu mematahkan penggambaranku yang menyeramkan tentang hujan. Aku mulai menikmati suara gemuruh, menikmati suaranya seperti musik pengiring. Lalu aku tengadahkan tanganku, merasakan bulir-bulir air yang menerpa tangan mungilku, tanpa sadar aku langkahkan kakiku menuju halaman yang becek. Aku berjingkrakan, menari dibawah terpaan air hujan, aku tertawa dan Ibupun ikut tertawa melihatku bermain dengan cipratan air.

Yang kuingat saat itu, senyum Ibu yang merekah melihatku menari dibawah hujan, aku merekam senyumnya di dalam memoriku. Dan semenjak saat itu aku tak takut hujan, gemuruh yang melukiskan garis di angkasa seperti pelukis yang menorehkan gambar di kanvas, dan selepas hujan turun yang tak kalah indah adalah, sinar-sinar matahari yang menerpa percikan air hujan menjadi bias cahaya seperti berlian yang berpendar.

* * *

Kulihat diluar jendela hujan sudah turun membasahi bumi, hujan membawa lamunanku kemasa kecil dahulu. Kali ini hujan tak seseram dulu, hujan bagikan nyanyian rindu yang dibawakan gemiricik air dan gemuruh angin dengan merdu. Dan aku merindukan Ibu yang terpisahkan pulau denganku. Hujan selalu menghadirkan kisah lalu dan senyum Ibu yang terekam di memoriku, senyum Ibu yang membawaku pulang ke masa yang lalu, dan melenyapkan berjuta rasa rindu yang ikut larut bersama air hujan yang turun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline