Lihat ke Halaman Asli

Percakapan Kecil di Ujung Senja

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kita tak pernah bisa memilih dan meminta di mana kita dilahirkan, dalam keluarga yang bagaimana, dan orang tua seperti apa. Dan aku pun tak pernah meminta Tuhan untuk dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang rapuh, yang kedua orang tuaku akan memilih jalan yang di benci Tuhan, Perceraian.

Aku Prisilia Karisma, gadis remaja berusia 17 tahun yang masih mencari jati diri, seharusnya diusiaku yang beranjak menuju dewasa, disetiap perjalanan usiaku yang akan bertambah, Ayah dan ibuku adalah orang yang seharusnya mendampingi masa-masa usiaku beranjak dewasa. Seharusnya mereka adalah orang yang akan membantuku menghadapi masalah-masalah yang aku hadapi diusia labil seperti ini. Tapi justru aku dihadapkan pada kenyataan bahwa kedua orang tuaku adalah penyumbang masalah terberat dalam perjalanan usiaku.

Sebuah keputusan berat yang harus kuterima, hampir tak sanggup aku menghadapinya. Setiap malam aku harus mendengar pertengkaran mereka, tak jarang aku mendengar kata-kata kotor yang keluar dari mulut Ayahku, dan Ibuku mewakili pihak perempuan yang lemah dari kaumnya hanya bisa pasrah dan menangis sejadinya. Dan aku berusaha tidak pernah mendengarnya, menutup gendang telingaku yang hampir pecah karena mendengarnya.

Sebagai anak yang tak tau harus bagaimana, anak tunggal yang tak mempunyai saudara untuk berbagi cerita, aku pendam semua masalah yang ada, aku tutupi masalah keluargaku di depan teman-temanku. Aku tak ingin mereka tau Orangtuaku tidak harmonis, bahkan keluarga kami terancam akan bercerai, aku malu. Malu kalau ada yang menyebutku anak korban “Broken Home”, aku tak mau mereka mencapku sebagai anak yang murung, penyendiri, pemarah, sensitive dan pembangkang karna korban ketidak harmonisan kedua orang tuaku.

Aku benci, benciAyah yangsering pulang hampir larut malam, malah menjelang pagi, benci Ayah yang memaki Ibu tanpa ada rasa kasih sayang sedikitpun, aku heran kemana Cinta mereka yang dulu mereka jadikan dasar pernikahan!. Dan aku benci Ibu yang hanya bisa berpasrah dan menangis ketika ayah mulai memaki. Aku benci dengan keadaan rumah yang penat dan menyesakkan.

Aku mulai menjadi anak yang tidak perduli terhadap keadaan rumah, anak yang acuh dan tak mengkhawatirkan Ayah dan Ibuku. Aku tak pernah perduli lagi tangisan Ibuku, aku jarang sekali berada dirumah, waktuku kuhabiskan untuk hal-hal tak berguna. Seharusnya aku menyiapkan diri untuk ujian akhir dan masuk perguruan tinggi, tapi aku sudah tak punya mimpi, tak ada lagi yang harus aku raih untuk membuat mereka bangga. Mereka terlalu sibuk memikirkan masalah mereka tanpa memperdulikan aku, Ayah sibuk dengan wanita lainnya, dan Ibu sibuk meratapi nasibnya yang menikahi Ayah, tanpa berfikir ada aku disini.

Sudah bebererapa hari ini aku selalu menghabiskan waktu hingga matahari beranjak dan senja mulai turun, di bangku panjang di pinggir lapangan bola depan panti asuhan didekat komplek rumahku. Sembari melihat sekumpulan remaja sebayaku bermain bola dilapangan, aku melepas kepenatan dan membuang waktuku hanya untuk memotong waktuku untuk berada dirumah menjadi lebih singkat.

Ku keluarkan rokok mild mentholku, kuhirup hingga asapnya membumbung melewati wajahku, terbatuk-batuk aku karenanya, maklum aku bukan perokok, hanya melepaskan penat yang ada di otakku. Baru beberapa minggu ini aku merokok, katanya merokok itu dapat sejenak menghilangkan stress dan dapat membuat pikiran kita untuk berpikir lebih jernih. Suara riuh anak-anak panti yang bermain bola membuyarkan lamunanku, entah dari mana asalnya seorang lelaki yang sekilas aku lihat sepertinya sebaya denganku, duduk tepat disebelahku.

“Jangan merokok! Perempuan itu tidak pantas merokok, juga tidak baik buat kesehatan kamu” ucap lelaki asing disampingku.

Kupalingkan wajahku kearahnya, kumelototkan mataku kearahnya, “Apa haknya melarang-larang aku” gumamku dalam hati. Aku tak tertarik untuk terlibat obrolan dengannya, aku lebih tertarik dengan sebatang rokok yang asapnya mengepul dan terselip di ujung jariku, dan sekumpulan anak-anak yang berlari dan mengejar bola ditengah lapangan.

“Kamu bukan perokok kan? hanya pelarian agar lupa dengan masalahmu sejenak kan?”, tanyanya dengan wajah penuh antusias.

“Jangan sok tau deh, jangan suka ikut campur masalah orang!”, hardikku.

“Aku Maher, anak panti disini, kamu siapa?”tanyanya dengan mengulurkan tangannya ke arahku.

“Prisilia Karisma, panggil ajah prisil”, jawabku dengan ketus.

“Aku sering melihat kamu beberapa hari ini, melamun dan menghabiskan berbatang-batang rokok hingga senja menjemputmu, baru kau beranjak dari bangku ini dan melangkah gontai keluar lapangan panti, kenapa?” tanyanya dengan mengebu-gebu.

“Penat, males sama keadaan rumah”, jawabku singkat.

“Prisil,,, beruntung ya kamu punya rumah, aku dari kecil cuma tau panti ini saja, ini rumahku tanpa Ayah dan Ibu didalamnya. Aku punya adik-adik angkat banyak disini, aku punya kakak-kakak angkat disini, tapi aku tidak punya Ayah dan Ibu. Hanya ibu Asrama yang menggantikan sosok Ibu yang tak pernah aku tau wajahnya, yang tak pernah aku tau suaranya. Prisil,,, bagaimana rasanya dipeluk seorang ibu, didekap dan dikecup seorang ibu, bagaimana rasanya dibangunkan oleh seorang ibu ketika mentari menyapa, dan segala persiapan serta sarapan sebelum berangkat sekolah disiapkan oleh seorang ibu?” , ia bertanya tanpa jeda sekalipun.

Aku hanya bisa terdiam, menatap nanar rerumputan dibawah kakiku, dengan telinga yang masih mendengarkan ocehan lelaki yang bernama Maher ini.

“Seumur hidupku, aku belum pernah melihat ibuku, bahkan mungkin mereka ayah dan Ibuku sengaja membuang aku dari kehidupan mereka atau mungkin saja mereka tak pernah menginginkanku dan membuang aku ketempat ini. Beruntunglah kau Prisil, masih bisa memeluk ibumu, masih bisa mencium tangan Ayahmu, aku tak pernah bisa melakukan semua itu Sil. Beruntunglah kamu sil yang tak seperti aku yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, tak pernah mendapatkan perhatian dari seorang Ayah. Kamu tau tidak, tak ada hal yang dapat aku lakukan jika kerinduan kepada Ayah dan Ibuku membuncah di dadaku, karena aku tak tau mereka ada ataupun tak ada. Jika aku jadi kau, ketika aku rindu mereka, akan kupeluk mereka seerat-eratnya hingga rindu ini menipis dan menghilang.”

Betul juga yang Maher ucapkan, beruntunglah aku yang masih mempunyai Ayah dan Ibu meskipun mereka sedang memutuskan untuk bercerai, tapi setidaknya aku memiliki fisik mereka ketika aku rindu. Walaupun mereka berpisah tempat, setidaknya aku masih bisa mengunjungi mereka, aku bisa memeluk ibuku ketika kurindu, dan ketika aku membutuhkan Ayahku aku bisa menghubunginya lewat ponselku, selesai sudah perkara. Lalu Maher?, apa kabar dengan rindu yang ia rasakan untuk kedua orang tuanya, bagaimana ia mengobati rindu yang tak tau harus di tuangkan kepada siapa.

Mungkin perceraian adalah jalan terbaik untuk orangtuaku, aku memang sudah terlanjur sakit hati terhadap prilaku Ayahku terhadap Ibuku, tapi tak seharusnya aku membenci beliau, biar bagaimanapun beliau adalah Ayahku. Seharusnya aku ada disamping Ibu, disaat-saat seperti inilah seharusnya aku bisa menguatkannya. Ah,,, aku rindu ibuku, sudah berapa hari terlewat tanpa memeluknya, durhakalah aku yang meninggalkannya dalam keterpurukan dan kesedihan seperti ini.

Sembari beranjak dari tempat duduk, aku berdiri dan mengulurkan tanganku dihadapan Maher. “Maher, senang berkenalan denganmu, kamu setetes air yang mengobati lukaku. Tapi sekarang senja sudah datang menjemput, dan ada sebuah pelukan yang harus kuutarakan pada seseorang, Ibuku menunggu dirumah” sembari tersenyum aku meninggalkannya. Belum jauh aku melangkah terdengar suara Maher berteriak.

Prisil… buang bungkus rokokmu itu, masalah tak selesai hanya karna sepuntung rokok”, teriaknya dengan keras.

Aku menoleh kebelakang, tersenyum kearahnya, kukeluarkan sebungkus rokok dari saku bajuku, kubuang kedalam tong sampah. Maher benar, masalahku tak selesai dengan menghisap berrbungkus-bungkus rokok, ini hanya pelarian sementaraku saja, dan tak mengurangi masalah sedikitpun.

Aku berlari kecil, ingin segera sampai kerumah. Aku bersyukur mempunyai orangtua walaupun diambang perceraian, tapi aku masih mempunyai Ibu yang bisa mencurahkan perhatiannya kapanpun, aku berjanji akan membahagiakanmu Ibu. Aku ingin memelukmu bu, mengusap air matamu, mendengarkan keluhmu, aku ingin menenangkanmu bu, aku ingin menguatkanmu bu, bahwa kita bisa lalui semua ini bersama-sama. Dan disepanjang jalan menuju rumahku yang terbayang di pikiranku adalah wajah ibu yang penuh dengan kasih sayang, yang aku acuhkan beberapa hari ini. Biarlah bagaimana takdir membawa keluarga kami pada pintu perceraian ataupun tidak. Kalaupun akhirnya mereka memutuskan bercerai, mungkin itulah jalan yang terbaik bagi mereka. Dan aku sebagai anak, seharusnya bersyukur dimanapun dan dengan keadaan keluarga seperti apapun aku dilahirkan, mereka tetap orang tuaku. I love you Ibu..Ibu..Ibu tentu juga Ayah. Dan percakapan kecil di ujung senja ini akan merubah perjalanan hidupku.

Karna hakikatnya tidak ada hubungan anak dan orangtua yang terputus.

Tidak ada mantan Ayah ataupun mantan anak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline