Di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin mendesak, ekonomi hijau muncul sebagai konsep yang menawarkan solusi untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Namun, meskipun potensi positif yang ditawarkan, penerapan kebijakan ekonomi hijau di banyak negara, termasuk Indonesia, masih menghadapi berbagai tantangan.
Konsep Ekonomi Hijau: Antara Solusi dan Tujuan
Apa itu ekonomi hijau? Ekonomi hijau, secara sederhana, adalah pendekatan pembangunan yang menekankan pada pengurangan emisi karbon, pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta penciptaan lapangan kerja yang ramah lingkungan. Budimanta (2011) menyatakan bahwa green economy berarti juga perekonomian yang rendah karbon atau tidak menghasilkan emisi dan polusi bagi lingkungan, hemat sumber daya alam, berkeadilan sosial. Dalam konteks global, ekonomi hijau dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, mengelola sampah dengan lebih efisien, serta melestarikan ekosistem yang vital bagi kehidupan manusia.
Teruntuk negara-negara berkembang sebagaimana Indonesia, konsep ini menjadi sangat relevan karena dua alasan utama. Pertama, dampak perubahan iklim semakin nyata, yang mempengaruhi sektor pertanian, perikanan, dan infrastruktur. Kedua, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor energi terbarukan dan ekowisata. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi hijau dapat dilihat sebagai jalan menuju pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Ekonomi Hijau merupakan komponen penting dalam pembangunan berkelanjutan atau yang dikenal sebagai SDGs, karena komponen ini adalah pengguna sumber daya alam dan lingkungan berlandaskan motif keuntungan, sehingga berpotensi menciptakan deplesi dan destruksi apabila tidak memperhatikan keseimbangan terhadap alam (Alisjahbana and Murniningtyas 2018)
Tantangan dalam Implementasi Ekonomi Hijau
Namun, penerapan kebijakan ekonomi hijau bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah transisi dari ekonomi yang bergantung pada energi fosil ke ekonomi yang mengandalkan energi terbarukan. Ekonomi Hijau, seperti yang didefinisikan oleh Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP), adalah "sistem ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, dengan mengurangi secara signifikan risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis" (UNEP, 2011). Indonesia misalnya, masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap batu bara sebagai sumber energi utama. Beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan memerlukan investasi besar dalam infrastruktur energi terbarukan, yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Tantangan terbesar dalam implementasi kebijakan ekonomi hijau terletak pada biaya awal yang cukup besar. Meskipun dalam jangka panjang bisa memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, transisi menuju ekonomi hijau membutuhkan investasi besar di sektor energi terbarukan, infrastruktur hijau, dan teknologi ramah lingkungan. Hal ini bisa menjadi beban bagi banyak negara, terutama negara berkembang yang memiliki keterbatasan anggaran dan infrastruktur. Kebijakan ini memerlukan dukungan finansial yang kuat, baik dari pemerintah, sektor swasta, maupun lembaga internasional, agar bisa diterapkan secara efektif.
Selain itu, perubahan pola produksi dan konsumsi yang diperlukan dalam ekonomi hijau dapat menghadapi hambatan budaya dan struktural. Masyarakat yang terbiasa dengan pola hidup konsumtif dan bergantung pada produk berbahan bakar fosil mungkin akan merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Perubahan ini memerlukan pendekatan yang holistik, termasuk pendidikan, sosialisasi, dan insentif agar masyarakat dapat lebih memahami pentingnya pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan. Kebijakan ekonomi hijau juga dapat menghadirkan ketimpangan antarnegara. Negara-negara maju yang memiliki akses lebih besar ke teknologi dan sumber daya untuk beralih ke ekonomi hijau mungkin akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada negara-negara berkembang. Hal ini bisa memperburuk kesenjangan ekonomi global, di mana negara berkembang merasa tertinggal dalam hal adopsi teknologi hijau yang diperlukan. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi hijau harus disertai dengan kerja sama internasional untuk memastikan transfer teknologi dan bantuan finansial kepada negara-negara yang membutuhkan. Kebijakan ekonomi hijau juga berpotensi menghadirkan ketimpangan sosial. Negara-negara maju yang memiliki lebih banyak sumber daya dan teknologi dapat lebih cepat beradaptasi dengan kebijakan ini, sementara negara-negara berkembang mungkin tertinggal dalam transisi ini. Ketimpangan ini dapat memperburuk kesenjangan ekonomi global dan memperlambat upaya bersama dalam mengatasi perubahan iklim secara efektif.
Potensi Solusi Melalui Kebijakan yang Tepat
Namun, meskipun tantangan-tantangan tersebut ada, banyak yang berpendapat bahwa kebijakan ekonomi hijau adalah solusi yang tidak bisa ditunda lagi. Dalam menghadapi krisis iklim global, ekonomi hijau menjadi satu-satunya pilihan yang dapat memastikan keberlanjutan sumber daya alam dan kualitas hidup manusia. Dengan semakin cerdasnya teknologi dan inovasi dalam sektor energi terbarukan, biaya transisi menuju ekonomi hijau diperkirakan akan semakin menurun, membuatnya lebih terjangkau untuk diterapkan oleh lebih banyak negara. Sektor industri yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam, seperti perkebunan kelapa sawit, tambang, dan perhutanan, mungkin merasa terancam oleh kebijakan yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan. Pembatasan terhadap deforestasi dan upaya untuk mengurangi emisi karbon dapat berkonflik dengan kepentingan ekonomi jangka pendek yang mengandalkan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Hal ini dapat menciptakan ketegangan antara tujuan jangka panjang untuk keberlanjutan dan kebutuhan ekonomi segera.
Pada konteks ini, kebijakan ekonomi hijau menawarkan sejumlah solusi jika diterapkan dengan tepat. Salah satu kunci keberhasilan terletak pada inovasi teknologi dan diversifikasi sektor ekonomi. Pengembangan teknologi hijau, seperti panel surya, kendaraan listrik, dan teknologi pengelolaan sampah, dapat menciptakan peluang ekonomi baru yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi. Misalnya, sektor energi terbarukan bisa menciptakan lapangan kerja baru di bidang riset dan pengembangan, manufaktur, dan pemeliharaan.