Lihat ke Halaman Asli

Ananda Ratmo

Mahasiswa

Seksisme dalam berita olahraga yang harus dihilangkan

Diperbarui: 5 November 2024   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Seksisme Dalam Berita Olahraga
Siaran langsung olahraga online
Seksisme terhadap perempuan dalam pemberitaan olahraga kali ini dilakukan media Viva. Kritik terhadap Viva ramai di media sosial. AJI Jakarta melihat, sensasionalisme yang dilakukan Viva ini hanya untuk mendulang klik atas nama tubuh perempuan
Seksisme dalam pemberitaan perempuan ini tak beda jauh dengan riset yang pernah dilakukan Konde.co di tahun 2020. Riset dilakukan terhadap 3 media yakni Okezone, Tribunnews, dan Kompas.com yang menduduki tiga besar peringkat Alexa. Riset menemukan, media masih melakukan kekerasan dan sensasionalisme pada perempuan korban kekerasan seksual dan senang menuliskan kata-kata sensasional terhadap perempuan korban seperti " disetubuhi", "pelaku punya ilmu hitam", "dicabuli", "digilir", dll

Disadari atau tidak, masih banyak media yang mengeksploitasi perempuan. Kehadiran perempuan dalam sebuah berita sebatas menjadi objek belaka. Kalaupun perempuan menjadi subjek, biasanya untuk berita-berita yang sensasional. Hal tersebut membuktikan masih maraknya media yang belum sensitif gender.
Apalagi untuk media yang hanya berorientasi pada viewer. Media-media tersebut sengaja memasang judul yang clickbait--dan cenderung seksis--guna memikat pembaca.
Judul berbau pornografi banyak yang digunakan oleh media mainstream. Sebagai contoh berita dengan judul seperti "Pose Mengangkang Pebulutangkis Kanada di Gym Bikin Ngilu", "Pose Seksi Bidadari Bulutangkis Australia di Ranjang Bikin Ngilu", "Bikin Gagal Fokus Pose Bidadari Bulutangkis Australia di Gym", "Jeritan Hati Pebulutangkis Cantik Myanmar Mengenaskan di Olimpiade". Judul berita yang terdokumentasi selama tahun 2020-2021 ini tampak mengobjektivikasi para atlet perempuan dan merendahkan kemampuan personal serta profesional mereka.

Jika ditelusuri lebih lanjut, berita-berita seksis seperti itu melimpah ruah di situs pencarian. judul dengan makna sensual terhadap perempuan disajikan secara eksplisit. Bahkan berita itu tak segan untuk menggunakan kata seksis secara gamblang, seperti seksi, belahan dada, telanjang, bikini, dan masih banyak lagi.
Tentu saja, hal tersebut dilakukan guna mendulang viewer sebanyak mungkin. Perempuan seolah menjadi objek kapitalisme yang dipraktikkan oleh media.
Bahayanya, pemberian judul seperti itu akan memicu terjadinya victim blaming. Diksi seksis tersebut tak hanya disematkan pada judul, tetapi juga dipaparkan dalam isi  tulisan.
Lebih-lebih jika digunakan dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual, penggambaran fisik dengan diksi sensual akan menggiring pembaca untuk menyalahkan perempuan---yang notabenenya justru bisa menjadikan korban berkali-kali disalahkan.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan media yang lebih adil dan sensitif gender. Media harus berperan sebagai agen perubahan, bukan sebagai penguat stereotip negatif. Oleh karena itu, kami menghimbau kepada semua pihak, termasuk jurnalis, editor, dan pemilik media, untuk:

1. Menghindari Sensasionalisme: Hindari penggunaan judul dan kata-kata yang bersifat clickbait dan dapat merendahkan martabat perempuan. Pemberitaan harus berfokus pada substansi berita dan bukan pada aspek sensual yang tidak relevan.

2. Meningkatkan Kesadaran Gender: Edukasi diri dan tim mengenai pentingnya perspektif gender dalam pemberitaan. Pelatihan dan workshop tentang sensitifitas gender dapat membantu jurnalis memahami dampak dari kata-kata dan narasi yang mereka gunakan.

3. Memberikan Ruang untuk Suara Perempuan: Berikan platform bagi perempuan untuk menceritakan kisah mereka tanpa distorsi. Biarkan mereka menjadi subjek dalam berita, bukan hanya objek yang dieksploitasi.

4. Menolak Budaya Victim Blaming: Dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual, penting untuk tetap fokus pada pelaku dan konteks kejadian, bukan pada penampilan atau perilaku korban.

5. Mendorong Media untuk Bertanggung Jawab: Pembaca dan penonton juga memiliki peran. Tuntut media untuk bertanggung jawab atas konten yang mereka sajikan. Berikan kritik konstruktif dan dukung media yang berkomitmen pada pemberitaan yang adil dan beretika.

Seksisme dalam media adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan bersama. Eksploitasi perempuan dalam pemberitaan tidak hanya merugikan individu, tetapi juga memperburuk pandangan masyarakat terhadap gender dan kesetaraan. Dengan mengubah cara kita memberitakan berita, kita dapat berkontribusi pada perubahan positif dalam masyarakat. Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk menghilangkan seksisme dalam media, menciptakan ruang yang lebih inklusif dan adil bagi semua pihak.

Dosen Pengampu: Dr. Merry Fridha Tripalupi., M.Si

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline