Lihat ke Halaman Asli

Jurnalis Berpihak Itu Sebuah Keniscayaan

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberpihakan Media sebuah Keniscayaan

sumber : anandapuja.com

[caption id="" align="alignleft" width="640" caption="Keberpihakan Media sebuah Keniscayaan"][/caption] Banyak orang berkomentar miring dan negatif tentang keberpihakan media massa kepada sebuah ideologi, baik ideologi pilitik, ekonomi, agama, atau yang lainnya. Media massa di Indonesia pun tak jauh dari cercaan masyarakat terkait keberpihakannya pada sebuah kepentingan politik.

Peta ideologi media mainstream di Indonesia juga sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Contohnya, TvOne punya ideologi politik Golkar pro Abu Rizal Bakrie, MetroTv punya ideologi politik Partai Nasional Demokrat pro Surya Paloh. Republika adalah media Islam, Suara Pembaruan medianya kaum Kristen, dan media lainnya yang saat ini gampang menilainya. Jika ada yang tidak setuju, anggap saja ini adalah pandangan pribadi Saya.

Pertanyaan utamanya adalah, mengapa masyarakat umum bisa menilai, memandang negatif, dan sensitif terhadap sebuah media yang memihak kepada salah satu pihak? Sentimen ini juga terjadi pada akademisi-akademisi di bidang pers, termasuk juga di kampusnya para wartawan, Kampus Tercinta IISIP Jakarta.

Hal ini sebenarnya terkait pada karakter ideal media massa dan karya jurnalistik yang disimpulkan sebagaian akademisi harus netral, objektif, tidak berpihak, dan berimbang. Pasal 1 KEJ (Kode Etik Jurnalistik), wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal ini tidak salah sebagai sebuah nilai ideal. Tapi proses penyampaiannya yang menyebabkan banyak masyarakat dan akademisi menghujat media yang berpihak kepada salah satu pihak atau kelompok politik.

Dasar ini juga yang menjadi bahan pengajaran dosen-dosen di bidang jurnalistik dan media massa. Menurut kriteria nilai ideal tersebut, yang dituntut untuk berperilaku ideal adalah wartawan, bukan beritanya. Dari 11 pasal yang terdapat dalam KEJ tersebut, semua ditujukan kepada manusia, bukan kepada produk jurnalistik yang dihasilkan. Kalau boleh berguyon, harusnya nama Kode Etik Jurnalistik itu diganti, Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalis, karena frasa jurnalistik dalam Kode Etik Jurnalistik harusnya mengacu kepada produk jurnalistik yang dihasilkan. Jurnalistik itu adalah benda, sedangkan jurnalis adalah subyek.

Akademisi seharusnya sudah memahami karakter dari setiap pasal dalam KEJ yang selalu memuat kata “wartawan” di awal bunyi setiap pasal. Artinya kelompok pers atau organisasi pers yang menyepakati KEJ tersebut paham bahwa produk jurnalistik yang dihasilkan berasal dari wartawan-wartawan yang membuatnya.

Simpelnya begini, hasil produk jurnalistik tidak akan pernah terlepas dari wartawan/ jurnalis. Semua elemen dalam karya jurnalistik itu berasal dari jurnalisnya sendiri. Ini yang menjadi dasar mengapa KEJ dibuat untuk wartawan, bukan untuk produk jurnalistiknya. KEJ “berharap” wartawan akan memakai nilai-nilai tersebut dalam karya jurnalistik yang dibuatnya. Sebagai suatu nilai ideal ini tidak salah, tapi hal ini adalah nilai uthopis yang tidak akan pernah bisa tercapai.

Pemahaman akademisi dan masyarakat umum saat ini banyak yang salah tafsir. Banyak yang berpendapat bahwa karya jurnalistik itu harus sesuai dengan KEJ. Harus berimbang, harus netral, tidak berpihak, tidak menyudutkan. Menurut Saya ini salah, karena KEJ sendiri sebagai landasan kegiatan kejurnalistikan tidak pernah menganjurkan berita/ produk jurnalistik lainnya untuk bisa berimbang, dan netral. Kata kuncinya pada KEJ itu ditujukan untuk wartawan, bukan produk jurnalistiknya.

Mengapa Saya katakan nilai ideal ini tidak akan pernah tercapai? Jawabannya sangat simple, karena wartawan atau jurnalis itu adalah manusia, dan manusia itu adalah subyek. KEJ menuntut objektifitas, sedangkan manusia sebagai subyek akan sangat sulit bisa objektif memandang suatu masalah/ kasus. Terutama jika sudah menyangkut pada ideologi pribadinya sendiri.

Wartawan-wartawan yang beragama Islam punya kecenderungan memihak golongannya dalam setiap karya jurnalistik yang dihasilkan ketika menyikapi kasus-kasus konflik horizontal antar agama, begitu juga sebaliknya dengan agama lain. Wartawan-wartawan TvOne (pembahasan ini sebenarnya masuk dalam ekonomi politik media) tidak akan rela untuk memberitakan kejelekan Golkar dengan porsi besar. Begitu juga MetroTv tidak akan memberitakan sesuatu yang negatif tentang Partai Nasional Demokrat dan Surya Paloh. Bukankah ini subjektif? Saya katakan ini sangat sarat subjektifitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline