Lihat ke Halaman Asli

ananda kania

mahasiswa

Konsep Nietzsche tentang Kehendak untuk Berkuasa

Diperbarui: 30 November 2023   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konsep Nietzsche tentang Kehendak untuk Berkuasa

Keinginan untuk berkuasa merupakan ide dasar Nietzsche. Bisa juga dikatakan sebagai landasan pemikirannya, yang akan mempengaruhi pemikiran lainnya. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pemikiran Nitsch tentang will to power. Keinginan untuk berkuasa merupakan salah satu energi atau landasan yang menggerakkan perilaku manusia, yaitu keinginan untuk menguasai alam, pengetahuan, dan lain-lain. Hal yang sama berlaku untuk keyakinan yang kita pegang dan pegang sejak lama. Keyakinan ini juga dipengaruhi oleh kemauan.

Dengan konsep tersebut, ia dapat digolongkan sebagai seorang pemikir naturalistik, yang meyakini bahwa manusia tidak lebih dari naluri alamiah yang serupa dengan hewan dan makhluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas mengungkapkan penolakannya terhadap berbagai konsep filosofis tradisional seperti kehendak bebas, entitas, kesatuan, dan jiwa. Dia mengajak kita untuk melihat diri kita sebagai manusia dengan cara yang baru. Sebagaimana dikemukakan Porter, ada tiga konsep dasar dalam keseluruhan pemikiran Nietzsche, yaitu penerimaan seutuhnya terhadap kontradiksi-kontradiksi kehidupan. 

Gagasan tentang keinginan untuk berkuasa tersembunyi dalam tulisan-tulisannya, tersebar di seluruh tulisannya, terkotak-kotak, dan tampaknya tidak memiliki kaitan yang cukup jelas. Porter meyakini, dari seluruh penggalan tersebut, setidaknya dapat diturunkan tiga pemahaman dasar mengenai will to power, yaitu will to power sebagai abstraksi realitas, sebagai aspek realitas yang terdalam dan tertinggi (esensi realitas), dan sebagai fakta dari realitas itu sendiri. Demikianlah (realitas itu sendiri). Makna ini dapat disingkat dengan ungkapan sifat terdalam alam semesta dan pergerakannya jika dilihat dari sisi paling gelap.

Bagi Nietzsche, dunia ini kosong. Tidak ada Pencipta di dunia ini, tetapi ia dapat eksis dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dunia seperti itu, tidak ada pengetahuan yang objektif. Gagasan Nietzsche tentang keinginan untuk berkuasa bukanlah pandangan dunia yang sistematis. Konsep ini seperti upaya untuk mengungkap berbagai situasi di dunia dan mencari tahu apa dasar dari semua itu. Oleh karena itu, ia tidak dapat diperlakukan sebagai konsep metafisik tradisional, sebagai lengkungan dalam filsafat Yunani kuno, atau sebagai substansi.

Menurut Porter, konsep kehendak yang berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, merupakan simbol ketidakmampuan manusia untuk memahami hakikat realitas yang terdalam. Ini berarti bahwa kita tidak dapat memahami seluruh dunia karena pengetahuan manusia kita yang terbatas. Dalam konteks ini Nietzsche memberikan pemahaman yang lebih "puitis" tentang hakikat dunia yang tidak dapat ditangkap sepenuhnya oleh nalar manusia. Konsep keinginan untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia yang hidup memandang dunia. Dapat dikatakan bahwa Nietzsche ingin merilis logo sebagai alat utama manusia untuk memahami dunia dan memberikan penjelasan yang lebih imajinatif, deskriptif, dan mitologis (penjelasan mitologis) yang kaya dalam memahami dunia. Akal mengempiskan dunia, imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya dan merayakannya.

Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan bahwa konsepnya tentang keinginan untuk berkuasa adalah mitos. Konsep ini lahir dan berkembang ketika dia membahas gagasan Schopenhauer, dunia adalah ekspresi dari kehendak dan gagasan manusia (dunia sebagai kehendak dan ekspresi). Namun kita tetap perlu membedakan model pemikiran kedua filosof besar ini. Nietzsche melihat dunia sebagai keinginan untuk berkuasa, tetapi dia optimis dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya. 

Schopenhauer melihat dunia sebagai keinginan buta, pesimistis dan memilih untuk melarikan diri darinya. Menurut saya, kedua sikap ini juga bisa digunakan untuk melihat kehidupan dan memahami semangat masyarakat saat ini. Di tengah kehidupan yang tidak selalu jelas, ada orang yang memilih bunuh diri dengan putus asa atau lari ke berbagai "candu". Tetapi beberapa menanggapi dengan berani semua ini dan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap terakhir inilah yang disarankan Nietzsche.

Konsep will to power tentu ambigu dan mengundang banyak tafsir. Di satu sisi, keinginan untuk berkuasa adalah inti dari filosofi Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan kehidupan dalam segala hal, dan energi memabukkan dari tipikal Dionysius, yang telah ditindas oleh agama dan moralitas tradisional. Di sisi lain, konsep ini juga dapat dilihat sebagai simbol kritiknya terhadap modernitas, yang diyakini telah membatasi kekayaan manusia hanya pada kecerdasan dan membatasi manusia pada objek-objek yang patuh pada sistem hukum dan moral yang mengikat kekuasaannya. 

Nietzsche ingin membongkar kemunafikan orang-orang modern yang, karena alasan moral, mendambakan dan menginginkan kekuasaan, tetapi berpura-pura menolaknya, dengan mengorbankan konsep keinginan untuk berkuasa. Penolakan ini menciptakan ketegangan dalam diri manusia, karena dia melawan dorongan alaminya sendiri. Dia menolak kekuasaan, tetapi menginginkannya. Ketegangan yang belum terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan, yang sangat mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, daripada menolak atau mengutuk dorongan alami kita sebagai manusia-apa sebenarnya kekuatan itu. Dengan penerimaan seperti ini, kekuasaan tidak lagi merusak, tetapi dapat didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.

Nama : Ananda kania syaharani

Nim : 1512300061

program studi : psikologi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline