Di balik gelar mulia dan jubah kebijaksanaan, seorang profesor ternyata bisa menjadi duri dalam daging. Ketika kekuasaan dan keserakahan bersatu, moralitas terbungkus rapi dalam kebohongan, menyusup seperti racun yang tak terlihat, merusak institusi yang seharusnya menjadi benteng kebenaran. Seperti penyakit yang menyebar tanpa terlihat, korupsi merusak moralitas institusi, menghancurkan kepercayaan yang dibangun dengan susah payah. Jubah kehormatan itu tak lagi menutupi noda-noda korupsi yang semakin menghitamkan hati nurani.
Korupsi oleh seorang profesor bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap seluruh komunitas akademik. Sosok yang seharusnya menjadi panutan dan penjaga moralitas malah menjadi simbol dari kehancuran etika dan integritas. Ketika seorang profesor memilih jalan korupsi, ia tidak hanya mengkhianati kepercayaan mahasiswa dan koleganya, tetapi juga mencoreng nama baik ilmu pengetahuan itu sendiri. Korupsi ini menciptakan luka dalam yang menghancurkan fondasi kepercayaan, mengingatkan kita bahwa gelar dan status tidak selalu sejalan dengan integritas. Ini adalah pengingat pahit bahwa tanpa pengawasan yang ketat dan penegakan etika yang kuat, institusi pendidikan dapat dengan mudah terperosok ke dalam kegelapan moral.
Kasus korupsi yang melibatkan rektor Universitas Udayana, sosok yang dihormati di kalangan akademik hingga terpilih sebagai seorang rektor, menggambarkan betapa parahnya penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan akademik. Rektor merupakan seseorang yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengawasan dari suatu universitas atau perguruan tinggi karena merupakan pemimpin tertinggi ternyata tidak luput juga dengan kasus yang menjijikan ini. Rektor tersebut, seorang profesor yang selama ini dihormati, terjerat dalam dugaan korupsi terkait penyalahgunaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditemukan bahwa rektor ini diduga menerima suap dalam bentuk gratifikasi.
Lebih jauh, investigasi mengungkap bahwa sebagian dana universitas telah dialihkan untuk kepentingan pribadi rektor, termasuk melalui aliran dana mencurigakan ke rekening pribadinya. KPK mencatat bahwa aliran dana tersebut mencapai miliaran rupiah, yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan fasilitas kampus. Selain itu, terdapat bukti kuat mengenai keterlibatannya dalam penggelembungan anggaran proyek universitas. Akibat tindakannya, rektor tersebut kini harus menghadapi proses hukum yang berpotensi berujung pada hukuman penjara yang panjang serta denda besar. Kasus ini mencoreng nama baik Universitas Udayana dan mengguncang kepercayaan publik terhadap integritas dunia pendidikan di Indonesia.
Seperti serigala yang menyelinap dalam kegelapan, korupsi ini menyergap tanpa disadari, mencabik-cabik bukan hanya moralitas, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan. Di dunia binatang, kita melihat bagaimana predator memangsa tanpa ampun, dan sayangnya, perilaku manusia tidak lebih baik juga. Sama seperti serigala yang kelaparan, pelaku korupsi, meskipun berpendidikan tinggi, tergoda oleh kekuasaan dan kekayaan. Dalam hal ini, seorang profesor yang seharusnya melindungi dan membimbing malah menjadi predator yang mencabik-cabik integritas institusinya. Ketika naluri keegoisan menguasai, bahkan mereka yang berada di puncak hierarki intelektual pun bisa jatuh ke dalam perangkap keserakahan. Kasus ini adalah pengingat pahit bagi kita semua, bahwa tanpa integritas dan pengawasan yang ketat, institusi pendidikan bisa kehilangan arah, dan kita sebagai masyarakat harus terus mengawasi dan menuntut keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H