SEBENARNYA, sudah lama saya gak menulis hal-hal yang bersinggungan dengan politik. Apalagi terkait dengan Pilpres. Buat saya, perbincangan tentang Jokowi vs Prabowo, sudah selesai. Sudah lama selesai.
Tapi hari ini saya tergelitik menulis lagi, karena istilah “Jokowers” yang dilontarkan salah satu pendukung Prabowo di status FB-nya (dan saya di-tag lantaran pada Pilpres lalu mendukung Jokowi). Lebih lucu lagi, pada status itu, dia menyatakan seharusnya pendukung Jokowi itu malu (atas kebijakan-kebijakan Jokowi hari-hari terakhir ini). Kok bisa-bisanya ya dia mengharuskan orang lain malu untuk sesuatu yang tidak perlu dipermalukan. Apa urusannya, coba?
Ada beberapa hal yang perlu saya klarifikasi terkait dengan dukung-mendukung ini:
Pertama, Pilpres sudah selesai. Jokowi menang. Sejak itu, di kamus saya, tidak ada lagi perbincangan mengenai Prabowo selain sebagai rakyat biasa, sama seperti saya. (Suatu saat, saya mungkin tertarik menulis tentang Prabowo lagi – entah karena koleksi kudanya, atau karena kehidupan pribadinya. Tapi yang pasti bukan sebagai presiden atau calon presiden). Saat ini, alih-alih memikirkan bagaimana jika sekiranya Prabowo jadi presiden. Lebih penting memikirkan Ketua RT saya ‘kali. Karena keputusannya berpengaruh langsung terhadap kehidupan saya sehari-hari.
Kedua, dukungan ke Jokowi itu adalah pilihan politik sebagai warga negara, dan dalam konteks Pilpres. Sesudah Pilpres, sebagai pendukung Jokowi yang rasional saya pasti akan mengambil ‘jarak’ untuk mengawal kebijakan sang Presiden secara objektif. Jadi konteksnya bukan lagi, mengapa memilih Jokowi dan mengapa bukan Prabowo? Bukan persoalan memilih orang. Tapi mengapa kebijakan A diambil dan mengapa bukan kebijakan B? Lalu apakah kebijakan Sang Presiden layak didukung atau tidak.
Ketiga, saya percaya bahwa Jokowi terpilih jadi presiden karena dukungan rakyat. Sehingga, jika ada yang menghendaki ia turun dari jabatan presiden karena kebijakan-kebijakannya dianggap tidak pro rakyat, maka itu pasti karena people power juga. Jadi, untuk para pendukung fanatik Prabowo, nyantai ajalah. Takkan lari gunung dikejar. Hehe…
Keempat, jika pendukung Prabowo masih belum move on juga, dan masih berhalusinasi Prabowo bakal memimpin lebih baik lagi dibandingkan Jokowi, silakan kalian perjuangkan sendiri. Gak perlu mendiskreditkan pendukung Jokowi di Pilpres lalu. Saya sih secara pribadi, karena alasan subjektif, pasti akan memilih lawan tanding Prabowo yang lain, siapa pun dia. Atau, kembali jadi golput lagi. Gitu aja kok repot. :D
Kelima, pilihan politik itu bukan harga mati. Buat saya, tidak ada istilah Jokowers. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau kemaren mati-matian membela Jokowi, ya wajar dong. Wong saya gak mau Prabowo jadi presiden. Jokowi itu pilihan terbaik di antara yang buruk. Ini menurut saya lho. Kalian tentu saja boleh berbeda. Namanya juga demokrasi. Asal tau aja, buat ibu-ibu seperti saya, pilihan fanatik itu biasanya lebih menyangkut sepatu, tas, dan kosmetik. Hihihi…
Fluktuasi BBM
Secara khusus saya ingin menyorot tentang fluktuasi BBM, yang dalam status di FB itu disebutkan banyak pendukung Jokowi yang kecewa karena kebijakan naik-turun BBM. Sebagai pemilih Jokowi, mungkin kalian berpikir saya juga kecewa. Salah besar. Sejak awal, salah satu komitmen besar Jokowi ketika berkampanye, adalah mencabut subsidi BBM. Dan bagi saya yang rasional, saya paham benar konsekuensinya. Mencabut subsidi BBM, berarti menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar. Kalian aja yang gak konsisten. Saat Jokowi pertama kali menaikkan harga BBM, kalian teriak-teriak karena harga minyak dunia turun. Begitu Jokowi menyesuaikan dengan harga minyak dunia, kalian protes lagi dan menuding Jokowi kapitalis. Jadi maunya apa sih?
Kebijakan menyangkut BBM ini, memang gampang-gampang susah. Tegantung visi pemimpinnya. Kalo mau jangka pendek, ya memang paling mudah, mengintervensi harga pasar dengan pemberian subsidi. Rakyatnya senang, presidennya popular. Tapi konsekuensinya, subsidi akan terus meningkat (dan tidak akan pernah turun lho) dari waktu ke waktu. Dan pemerintah makin kesulitan karena anggaran subsidi terus membengkak. Alih-alih membangun infrastruktur untuk menaikkan kapasitas produksi perekonomian rakyat.
Tapi jika visi jangka panjang yang digunakan, ya memang awalnya sakit. Harga-harga fluktuatif. Sebagian orang mungkin akan gagap menyesuaikan diri. Rakyat sengsara. Presidennya pasti dihujat (jarang lho pemimpin mau dihujat. Biasanya maunya citra positif melulu). Tapi dengan mencabut subsidi, pemerintah bisa bernafas. Ada alokasi anggaran yang bisa dialihkan untuk membangun dan memperkuat kapasitas produksi dalam negeri. Ke depan, harga-harga pastinya tetap akan melonjak dan fluktuatif. Tapi lama-lama masyarakat juga terbiasa dan mengerti cara menyiasatinya. Wong rupiah aja fluktuatif kok. Memang pengusaha yang mengurusi produksi yang dikonsumsi masyarakat itu tidak terbiasa dengan fluktuasi mata uang? Tapi nantinya, masyarakat jauh lebih berdaya, kemampuan membeli akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang-barang konsumsi. Ini seperti mengamputasi bagian tubuh yang terkena kanker. Sakit pasti. Tapi ke depan, tubuh akan jauh lebih sehat.
Nah, tinggal milih: mau visi jangka pendek (dengan konsukesi terjadi pemiskinan secara struktural), atau mau jangka panjang (bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian).
Tapi, sekali lagi, ini pemikiran saya lho. Kalian boleh kok berbeda. Yang saya gak terima, kalo kalian memaksa-maksa atau menggiring-giring saya untuk menyatakan (atau mengakui) Prabowo lebih unggul dibanding Jokowi. Jadi presiden aja belum pernah. Wong dalam Pilpres aja kalah kok …. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H