Lihat ke Halaman Asli

Tak Ada Lagi yang Menjawil Kuping Saya...

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1365138648967975203

[caption id="attachment_252878" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com/IST)"][/caption] [In Memoriam Abun Sanda - Wartawan Harian Kompas]

SEMALAM, perasaan saya campur aduk. Dalam waktu tidak kurang 1x24 jam, saya menerima 3 kabar duka dari orang-orang dekat. Pertama, Om saya - adik dari ibu, meninggal dunia. Disusul ibu mertua dari kakak saya. Dan terakhir, datang dari Palmerah. Abun Sanda, wartawan senior Kompas, wafat di kantornya pada petang kemarin. Orang pertama yang mengabarkan, sahabat saya, Riri Riza. Sementara saya BBM-an dengan Riri, kakak sulung saya Karman Mustamin, juga mengirim pesan yang sama.

Lalu seperti film yang diputar ulang, kenangan tentang Kak Abun - begitu saya menyapanya, seketika berputar. Saya akrab dengan Abun, karena dia karib kakak saya. Di rumah orangtua saya di Makassar dulu, Abun sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Bersama-sama dengan sahabat kakak yang lain - seperti Rudi Harahap (wartawan Harian Republika yang juga sudah almarhum), Baso Amir, dll, ia bebas keluar-masuk rumah. Bahkan menginap berhari-hari di kamar kakak. Apalagi saat rumah orangtua saya dijadikan sekretariat IPPI (Ikatan Pemuda Penulis Indonesia). Saat itu, boleh dibilang, rumah kami terbuka 24 jam bagi para sahabat. Mereka, teman-teman saya dan kakak saya, menjadi 'anak-anak' ibu saya juga. Bukan pemandangan aneh kalo menyaksikan mereka datang dan langsung ‘blusukan’ ke dapur nyari mie instan atau kopi.

Tak berbilang kenangan tentang Abun. Tapi jika ditanya, apa yang paling mudah saya ingat, tentu saja tubuhnya yang tambun dan ketawanya yang khas - panjang dan membahana. Biasanya, tawa itu sudah kedengaran saat kakinya menjejak pintu pagar. Tawanya yang menggelegar itu membuat kami langsung menghentikan kegiatan. "Kak Abunmu datang!" begitu biasanya ibu saya merespon. Abun memang salah satu 'anak' ibu yang beroleh perhatian khusus. Terutama saat lebaran. Ia doyan dengan opor ayam bikinan ibu. Karenanya, ibu selalu menyiapkan dan menyimpan menu lebaran itu secara terpisah, khusus untuknya.

Abun, dalam penilaian saya, seorang kakak yang sangat baik. Riri menulis di BBM, "He's like a brother already." Yup. Dia pandai merawat hubungan. Dia juga selalu bisa memuji dan menyenangkan hati orang lain. Kepada saya, dia pernah berujar, "Saat menciptakan keluarga Mustamin, Tuhan sedang tersenyum!" Waktu saya tanya, kenapa? Dia bilang, Karman dan adik-adiknya cerdas semua. "Tapi lebih dari itu, bapak dan ibu berhasil mengajarkan ketulusan kepada kalian," ucapnya.

Hal lain yang tak mungkin saya lupakan adalah kebiasaan jeleknya mengacak-ngacak rambut dan menjawi-jawil kuping saya. Di matanya, saya (dan kakak saya Ani Mustamin) tetaplah anak kecil. Meski saat itu kami sudah kuliah. Kalau saya berpapasan di kampus (dia sudah bekerja sebagai wartawan saat itu), dia akan mengacak poni saya di depan teman-teman kuliah. Dia bilang, saya keliatan jelek kalo rambut saya rapi. Begitu juga, saat menjawil kuping. Gak kenal tempat dan suasana. Gak di kampus, gak di depan ayah dan ibu saya. Pokoknya, begitu ketemu, tangannya gatal kalo belum menjawil kuping saya. Kami sampai sering kejar-kejaran dari pintu depan hingga pintu belakang rumah karena saya berusaha menghindar dari tangannya yang usil.

Tapi sebetulnya, bukan hanya Abun yang usil. Saya lebih sering mengusili dia. Dulu, di Harian Pedoman Rakyat Makassar, kami punya serial cerita di halaman anak-anak yang terbit setiap Minggu. Namanya "Si Unang". Serial ini digagas dan ditulis almarhum Rudi Harahap. Tapi kalo Rudi sibuk dan berhalangan, maka saya menjadi ban serep untuk menulis serial itu. Si Unang jelas cerita anak. Tapi bagi sahabat di lingkaran kami, itu kudapan orang dewasa. Tokoh-tokohnya bukan fiktif. Si Unang sendiri adalah Rudi kecil. Sahabat-sahabatnya di serial itu, Abun cs. Termasuk kakak saya, Kak Karman.Sudah bisa ditebak, ketika giliran saya menulis, maka Abun jadi sasaran empuk untuk jadi bulan-bulanan saya. Dalam salah satu episode misalnya, saya pernah menulis, Abun sedang berantem. Tubuhnya yang tambun terguling-guling masuk ke got penuh comberan... Bisa dibayangkan, saat korannya terbit, betapa gemasnya dia. Sambil terbahak-bahak, ia mengejar untuk menjawil kuping saya...

Ketika mulai ada beberapa cowok yang naksir saya di kampus, layaknya sebagai kakak lelaki, Abun mulai protektif. Tiap hari saya ditanya-tanya dan dinasihati. “Si A playboy, si B kurang cerdas, si C keliatannya baik hati…,” dan seterusnya. Katanya, ia mewakili Kak Karman - yang memang tidak seekstrovert dia. Bahkan pada salah seorang cowok yang serius ingin memacari saya, dia mengancam, "Awas kalau berani main-main! Kamu akan berhadapan dengan saya!" Katanya. Teman-teman saya yang cowok saat itu emang sering ngeledek setengah mengeluh. Mereka bilang, susah mendekati saya. 'Pengawalnya' banyak. Hehehe...

Abun dan sahabat-sahabat kak Karman lainnya, akhirnya menyebar setelah bekerja. Tapi khusus yang di Jakarta, kami tentu bisa menyambung kembali tali persaudaraan. Mereka umumnya sukses berkarir sebagai wartawan di pelbagai media terkemuka. Yang paling diuntungkan, tentu saya. Pekerjaan menuntut saya untuk membangun hubungan baik dengan wartawan. Ketika saya dipercaya memimpin Departemen Komunikasi Korporatdi perusahaan saya (yang kebetulan berada di industri keuangan) Abun sudah menjabat wakil kepala desk ekonomi hingga menjadi direktur bisnis di Harian Kompas. Saya masih ingat saat pertama kali hadir di kantor, dia senyum-senyum sembari menyembunyikan kedua tangannya di saku celana. Waktu saya tanya kenapa dia senyum-senyum, sembari berbisik dia menjawab, dia sangat ingin memegang-megang kuping saya. Hahaha...

Sejak istrinya, Anita, mengidap kanker dan kemudian meninggal pada Maret 2009, saya merasa Abun makin religius saja. Dia penganut Katolik yang taat. Tapi tahun lalu, setiap subuh, dia nyaris selalu mengirim SMS untuk mengingatkan agar saya sholat subuh. Bahkan ketika dia sedang bertugas di belahan dunia lain. Dia juga tidak pernah lupa mengirim undangan ke saya, setiap kali Kompas menyelenggarakan acara besar. Termasuk mengirim tiket VIP pementasan "Diana" saat harian tersebut memperingati ulang tahunnya. Terakhir saya ketemu dia, tahun lalu (kalau gak salah), di sebuah resto fastfood di Pondok Indah.

Dan akhirnya, di awal malam kemrin, saya mendengar kabar duka itu. Kak Abun telah pergi untuk selama-lamanya. Ia pergi secara mendadak akibat serangan jantung ketika masih berada di kantornya di Palmerah. Meninggalkan keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan kenangan.... Saya termangu begitu lama mendengar berita itu, setengah tak percaya. Secepat itukah? Tapi Tuhan jua sang empunya rencana...

Kini, tak ada lagi sms subuh itu, tak ada lagi yang usil memegang-megang kuping saya. Selamat jalan, Kak Abun. Berbaringlah dengan damai.Semoga bertemu kembali dengan Mbak Anita di alam sana. Dan semoga Tuhan menyediakan tempat yang mulia di sisi-Nya... ***

Catatan kaki:

Foto dari koleksi admin Kompasiana di atas, berdua dengan Arya Gunawan - wartawan Kompas se angkatan Abun. Kini Arya berkarir di Unesco di Taheran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline