Lihat ke Halaman Asli

MWIF, Riri Riza dan Perasaan Alienasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13395619301462485363

MAKASSAR International Writer Festival (MWIF) 2012 akan digelar pada 13-17 Juni mendatang. Acara yang mengambil tema Visiting the Memories (Menjenguk Kenangan) ini akan menghadirkan12 penulis asing dari Australia, Hong Kong, Singapura, Malaysia, Inggris dan Amerika Serikat. Selain itu, 5 penulis Indonesia Timur yang dipilih oleh tim kurator sebagai penerima fellowship dari Rumata’ ArtSpace – penyelenggara MWIF, berikut puluhan penulis Makassar dan berbagai kota lainnya akan meramaikan peristiwa ini.

Tapi ngomong-ngomong, tahukah Anda bahwa festival tahunan ini antara lain dipicu dari sebuah perasaan teralienasi? Apakah Anda pernah merasa terasing di kampung halaman sendiri? Penggagas dan pendiri Rumata’ ArtSpace, Riri Riza, pernah mengalaminya. “Saya ke Makassar, dan saya merasa gak punya siapa-siapa di sana, kecuali beberapa orang keluarga. Tapi teman-teman gak punya, tidak ada yang saya kenal. Rasanya benar-benar asing.”

Mungkin agak sulit dipercaya bahwa pengakuan itu terlontar dari mulut seorang Riri Riza. Di jagad perfilman Indonesia saat ini, siapa yang tidak mengenal namanya? Riri yang bernama lengkap Mohammad Rivai Riza ini adalah satu dari sedikit sutradara film Indonesia terbaik saat ini. Sederet film besutannya – yang umumnya digarap berkolaborasi dengan sahabatnya Mira Lesmana, tidak hanya dikenal sebagai film-film box office, tapi juga dengan kualitas yang mengundang decak. Tak syak, Riri tentu dikelilingi pengagum tersendiri.

Tapi itu di luar. Di depan saya malam itu, di seberang meja bundar kecil di sebuah kafe di Pondok Indah Mall Jakarta, saya memergoki Riri sebagai putra daerah Makassar yang begitu merindui tanah kelahirannya sendiri. Matanya berbinar ketika bercerita tentang mimpinya membangun Makassar. Makassar dengan huruf M besar di depannya – seperti yang ditulis dalam banyak buku sejarah dunia sebelumnya. Belakangan ini, Makassar identik dengan kekerasan – anak muda yang akrab dengan tawuran. Padahal Makassar punya sejarah kejayaan di masa lalu. Punya segudang orang-orang muda yang memiliki pencapaian luar biasa. “Saya menyimpan mimpi ini sejak tahun 2000-an,” kata Riri, lirih. “Saya ingin melakukan sesuatu untuk Makassar, untuk anak-anak muda Makassar!” sambungnya.

Beruntung, Riri yang lahir di Makassar pada 2 Oktober, 41 tahun silam ini, bertemu dengan Lily Yulianti Farid – cerpenis asal Makassar yang kini bermukim di Melbourne. Dua orang ini sepertibotol ketemu tutupnya. Punya idealisme dan visi yang sama. Punya antusiasme dan ‘kegilaan’ yang sama. “Ya, Lily itu gila,” senyum Riri melebar tentang partnernya yang dikenalnya saat peluncuran kumpulan cerpen Lily di TIM, beberapa tahun silam. “Saya kadang-kadang merasa belum siap, dia sudah datang dengan gagasan yang membuat geleng-geleng kepala. Pokoknya jalan dulu.”

Sinergi dua kepala yang terus ‘berasap’ inilah yang melahirkan “Rumata’ Artspace”. Rumata’ yang dalam bahasa Makassar berarti “rumah kita”, merupakan tempat untuk mewadahi berbagai inisiatif komunitas seni di Makassar. Tak tanggung-tanggung, rumah masa kecil Riri di bilangan Gunung Sari Baru, Makassar, dibongkar dan direnovasi. Di atas tanah seluas 900m2 itu nanti akan berdiri semacam teater arena dengan kapasitas 200 penonton, galeri, dan kantor utama Rumata’. “Saya sangat berharap pembangunan tahap pertama bisa rampung secepatnya,” harap Riri sembari memperlihatkan ke saya rancang bangun Rumata’ di laptopnya.

Rumata’, dalam impian Riri, akan menjadi semacam rumah budaya tempat mengembangkan seniman lokal. Juga menjadi pintu untuk membuka minat masyarakat Makassar terhadap kegiatan seni sekaligus mendorong penciptaan pasar bagi kegiatan kesenian yang lebih luas. Tentu juga akan menjadi penggerak kegiatan literasi dan kebudayaan secara umum. “Di beberapa negara, kantong-kantong budaya tidak harus di sebuah gedung mewah di pusat kota. Bahkan banyak di rumah-rumah kecil,” papar Riri – yang tentu saja saya amini. “Di Jakarta, atau Jogja dan Bali, rumah budaya banyak dijumpai. Tapi di Makassar tidak,” timpal saya.

Baik Riri maupun Lily – yang berbincang dengan saya tentang rencana pembangunan rumah budaya ini sejak dua tahun silam, sangat berharap Rumata’ kelak menjelma menjadi pusat seni dan budaya melalui berbagai kegiatan profesional dan berkesinambungan.

Sayang, di luar malam makin larut. Sebentar lagi kafe ini tutup. Khrisna Pabhicara – penulis asal Makassar yang saya ajak bergabung dengan Riri malam itu, pun mulai meracau tentang sop konro dan coto makassar. Perut saya mendadak lapar. Saya masih ingin mendengar cerita Riri sebetulnya – terutama tentang rencananya menggarap karya sastra “Bumi Manusia” dari penulis besar Pramudya Ananta Toer yang akan diterjemahkannya ke layar sinema. Tapi kami harus beranjak dari tempat itu.

Di perjalanan pulang, diam-diam saya berharap akan banyak orang Makassar yang sukses di perantauan, mengalami alienasi ketika pulang kampung. Mungkin dengan begitu, akan banyak yang pulang melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pembangunan masyarakat kampung halaman saya itu.

Oya, informasi tentang Rumata’ ArtSpace selengkapnya bisa diakses melalui situ http://rumata-artspace.org/. Jangan lupa untuk hadir dan berpartisipasi dalam Makassar International Writers Festival 2012. Ayo rame-rame ke Makassar, dan dukung gagasan Riri dan Lily!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline