Lihat ke Halaman Asli

Misbahul Anam

Guru swasta, belajar selamanya

Terapi Jiwa: Menulis

Diperbarui: 4 Februari 2024   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menulis menjadi sebuah pilihan dan terapi jiwa-jiwa yang sedang berdendang suka maupun duka. Aksara adalah sebuah energi yang tidak pernah mati. Saat penulis aksara sudah tidak berada di dunia, akan tetapi jejaknya masih dapat ditemukan melalui rangkaian aksara yang digoreskan. Aksara yang sarat makna terkandung ilmu yang bermanfaat dalam kehidupan jiwa dan raga.

Menulis membuat hati dan pikiran menjadi ringan dan wajah menjadi cerah. Emosi yang meluap-luap di dada dapat disalurkan pelan-pelan dengan menulis. Menulis juga dapat mengonrtrol dinamika emosi; marah, kesal, kecewa, sedih, dan bahagia bisa tersapu oleh tarian pena dalam genggaman jemari.

Mengungkapkan perasaan dengan menulis mempunyai beberapa kelebihan, misalnya bisa dikoreksi, dihapus, maupun ditambah sebelum ditayangkan. Berbeda dengan mengungkapkan perasaan dengan berbicara, selain tak bisa dikontrol (saat emosi meluap) juga lebih banyak yang terucap daripada intisari dari yang hendak disampaikan. Apalagi bila salah ucapan akan sulit dikoreksi manakala lawan bicara sedang tidak baik-baik saja.

Tulisan menjadi sebuah bukti otentik, maka dari itu dalam menulis harus cemat dan penuh kehati-hatian. Demikian juga ungkapan perasaan lewat ucapan, pernyataan yang dilontarkan akan sulit ditarik, kecuali dengan permintaan maaf yang sungguh-sungguh di hadapan saksi. Mengungkapkan perasaan lewat tulisan dan lisan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing masing. Pada prinsipnya harus memperlakukan keduanya dengan penuh kehati-hatian.

Kisah inspiratif

Alkisah ada anak perempuan kecil yang dikarunia tubuh gendut, sebut saja panggilannya, Ndut. Sejak kecil banyak yang suka karena bentuk tubuhnya.

"Wah, lucunya. Gendut banget putrinya, Bu."

"Ya. Gemesin banget. Pengin nyubit pipi gembulnya."

Orang-orang pasti akan merasa gemas melihat anak chubby dan imut ini. Mereka mungkin akan mulai menowel, mencium, bahkan mencubit pipinya. Wajar bila ibu sangat bangga punya anak yang sangat menggemaskan ini.

Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Bagaikan pelangi yang hanya muncul sejenak sesaat hujan reda. Warna pelangipun segera memudar dan hilang saat mentari mulai bersinar. Demikian juga yang dialami Ndut. Ndut dianggap lucu dan menggemaskan hanya sampai kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah. Lepas masa itu, kelucuan Ndut berhenti total. Meski tetap gendut dan chubby, selain bapak dan ibunya, tak ada lagi yang menganggapnya lucu, apalagi menggemaskan.

"Hei, lihat, ada bagong tuh."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline