Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda, tag sebuah iklan yang penuh inspirasi. Kesan menjadi faktor teramat penting berkaitan dengan hubungan antar-manusia. Seseorang yang mengalami kesan yang indah, menarik, dan baik di awal perjumpaan atau pertemuan, tentu tak akan pernah hilang selama kesan pertama tersebut tidak tertutup dengan kesan berikutnya yang buruk.
Seakan-akan berguru pada tag iklan tersebut, banyak sekali instansi, perusahaan, atau pelayanan publik swasta yang menerapkan prisnsip "kesan" tersebut. Anda tentu hampir setiap hari bertemu dengan seorang satpam penjaga pintu sebuah kantor pelayanan publik. Kalimat pertema untuk menyapa setidaknya "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?". Atau ketika sedang mengisi bahan bakar di SPBU maka seorang petugas - rata-rata cewek - akan menyapa dengan ramah "Selamat siang Bapak, mau isi premium berapa? dimulai dari nol ya". Ketika selesai dan meninggalkan SPBU tak lupa disapa lagi "Selamat jalan Bapak, semoga sukses".
Kesan apa yang Anda tangkap dari sapaan akrab tersebut? Setidaknya Anda tidak akan kapok lagi datang ke kantor yang satpamnya ramah atau mampir ke SPBU yang pelayanannya sopan dan mengesankan. Hal ini belum terjadi sepuluh tahun yang lalu. Seiring dengan persaingan usaha yang makin ketat, maka memunculkan kesan yang ramah dan santun kepada customer adalah senjata ampuh untuk menarik pelanggan.
Pencitraan dengan mengedepankan kesan ini menjadi hal menarik dan menguntungkan customer yang ujung-ujungnya juga menguntungkan perusahaan. Akan tetapi percayakah Anda bila pencitraan dengan mengedepankan kesan ini tidak pernah terjadi pada pelayanan publik instansi pemerintah dibidang kesehatan? Tentu tidak semuanya. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah pelayanan kesehatan di daerah saya.
Kesehatan adalah satu anugerah Tuhan yang mahal harganya. Orang akan bayar berapapun untuk memperoleh kesehatan ini. Oleh sebab itu mulai dari Klinik Desa, Puskesmas, sampai Rumah Sakit Umum tidak pernah sepi pasien (rata-rata kurang mampu) . Seolah memang menjadi kebutuhan masyarakat maka perilaku pelayan kesehatan menjadi sering over acting, mereka yakin bahwa merekalah yang dibutuhkan orang bukan pelayan kesehatan (bidan, dokter, atau perawat) yang butuh. Sehingga terkesan seenaknya mengelola pasien. Anehnya perilaku kurang simpatik ini biasa terjadi pada layanan publik plat merah alias milik pemerintah. Mulai dari Klinik Desa, Puskesmas sampai Rumah Sakit Umum di kota kabupaten.
Itulah sebabnya mengapa klinik dan rumah sakit swasta lebih banyak diminati pasien daripada yang disediakan pemerintah yang notabene adalah menyediakan pelayanan murah sampai yang gratis, tetapi tetap saja yang datang ke sana adalah orang-organg dengan sarat keterpaksaan dan rata-rata dari golongan kurang mampu dan miskin. Sementara orang-orang dengan kemampuan finasial dan penuh kesadaran membanjiri tempat pelayanan kesehatan swasta meski dengan biaya mahal.
Bukan sekali dua kali saya mengalami pengalaman menyakitkan dan akhirnya antipati terhadap pelayanan kesehatan plat merah ini. Kalau pun bukan karena terpaksa atau memang ada persyaratan tertentu yang butuh legalitas darinya tentu tidak pernah mau ke sana. Betapa tidak menyakitkan, tenaga medis dan perawat yang ada selalu menunjukkan muka masam bila menemui pasien, kalau toh ada yang murah senyum paling-paling bisa dihitung dengan jari.
Fasilitas yang disediakan yang tidak mendukung kecepatan kesembuhan pasien, yang terjadi malah sebaliknya. Alas kasur (sprei) jarang diganti meski kelihatan menjijikkan. Sering saya dan keluarga harus mengernyitkan dahi bila bezuk tetangga atau kerabat di puskesmas atau di RSU. Selalu ada keluhan dari pasien tentang pelayanan yang dilakukan seorang perawat, sepertinya minta dilayani bukan melayani pasien. Sungguh kalau ditulis di sini semua mungkin tidak selesai dalam sepuluh postingan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, Klinik Desa, Puskesmas, dan RSU adalah diperuntukkan bagi masyarakat yang memang butuh penanganan kesehatan dan pelayanan memuaskan dengan biaya terjangkau, tetapi apakah masyarakat sudah terlayani dengan baik? Sepertinya kembali pada mental tenaga pelayanan kesehatan plat merah ini perlu pembinaan dan pembangunan karakter pribadi mereka. Jangan sampai dana Pemerintah dihamburkan sia-sia hanya untuk menciptakan image bahwa pelayanan kesehatan plat merah tidak bermutu, tidak memihak rakyat, tidak mel;ayani sepenuh hati, tetapi melayani sesuka hati karena ada atau tidak ada pasien toh gaji jalan terus.
Sungguh mental yang harus segera diamputasi dari negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H