Lihat ke Halaman Asli

Mengembalikan Romantisme Institusi Pendidikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menjelang dan saat puasa nanti, seluruh mahasiswa/i Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga sudah memasuki masa liburan semester genap, sekitar dua bulan lebih. Berbagai agenda telah dipersiapkan para mahasiswa/i jauh-jauh hari, ada yang ingin menghabiskan liburan bersama keluarga, mengambil berbagai kursus-pelatihan, bermain ke rumah teman, dan seabrek kegiatan lainnya. Hemat penulis, liburan perkuliahan bisa jadi waktu efektif untuk merenung-memaknai setiap kejadian di semester yang sudah terlewati. Barangkali bisa diambil hikmah dan menginspirasi diri kita maupun orang lain.

Ada renungan menarik yang menurut penulis layak di-publish ke khalayak untuk jadi bahan instropeksi. Berawal dari Tim Olimpiade Fisika yang sudah lama terbentuk di kampus penulis, UIN Sunan Kalijaga. Tim Olimpiade Fisika ini adalah tim yang dipersiapkan untuk mengikuti berbagai ajang lomba Fisika baik tingkat regional maupun nasional. Setiap tahun banyak kompetisi sains-matematika yang diselenggarakan oleh berbagai institusi. Paling familiar adalah Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ON-MIPA PT) yang merupakan agenda tahunan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti)-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di awal-awal penyelenggaraan kompetisi ini, peserta boleh berasal dari berbagai program studi Strata Satu (S1) perguruan tinggi pemerintah (PTN) maupun masyarakat (PTS). Namun seiring berjalannya waktu, mulai 2013 diberlakukan aturan baru yaitu peserta yang boleh mengikuti ON-MIPA PT adalah (hanya) mahasiswadariprogramstudiStrataSatu (S1) perguruan tinggi dilingkunganKementerian Pendidikan danKebudayaan.

Dengan adanya aturan main seperti itu otomatis tim olimpiade apapun yang berasal dari lingkungan selain lingkunganKementerian Pendidikan danKebudayaan “dilarang masuk”. Dalam hal ini, kampus penulis yang notabene berada di bawah Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis)-Kementerian Agama harus rela gigit jari dan hanya menjadi penonton. Tidak hanya kampus penulis yang menjadi korban, kampus-kampus lain yang sebenarnya juga mempunyai program studi yang relevan dengan kompetisi ini harus rela digusur bahkan terkadang harus merelakan tim olimpiadenya bubar. Ironi memang.

Selain pada kegiatan ON-MIPA PT, ada satu lagi kegiatan cukup bergengsi yang seharusnya juga berhak diikuti tidak hanya dari civitas akademik dari lingkungan Kemendikbud yakni Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). PKM merupakan suatu lomba karya tulis yang diselenggarakan oleh Dikti. Hasil karya tulis mahasiswa dalam bentuk PKM ini kemudian diseleksi oleh Dikti untuk kemudian diambil beberapa terbaik dari seluruh Indonesia dan dilombakan di suatu ajang bernama PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional). Belakangan program ini terkesan meng-anak-tiri-kan teman-teman dari Diktis. Potret fenomena-fenomena seperti itulah yang menjadi PR besar. Meskipun civitas akademik yang berpayung pada Diktis masih bisa mengakses berbagai kegiatan lain yang sifatnya sama di luar yang diadakan Dikti, namun tetap saja akan menimbulkan kecemburuan sosial luar biasa dan harus segera dicarikan solusinya.

Persoalan di atas seakan menjadi indikasi bahwa ada persaingan tidak sehat antar institusi pendidikan di negeri ini. Penulis tidak bermaksud belah seberat, hanya ingin kejujuran dan keterbukaan atas apa yang sebenarnya terjadi. Dikotomi institusi seperti ini hanya akan membatasi kreativitas dan daya jelajah mahasiswa. Mahasiswa malah akan mempertahankan gengsi dan “kebanggan semu” atas nama tempat mereka kuliah.

Sudah saatnya institusi pendidikan apapun di negeri ini menghilangkan ego dan ke-aku-annya. Saling menyapa, saling mendukung, dan menjalin kemesraan adalah yang dibutuhkan saat ini. Semua harus dikembalikan ke tujuan dan niat awal bahwa tujuan pendidikan nasional menurut UUD 45 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya “bangsa” dari kalangan Dikti saja atau Diktis saja, tapi keduanya harus mengakomodir kebutuhan bangsa ini. Semoga menjelang bulan suci ini, renungan penulis yang serba kekurangan ini dapat mencerahkan semua pihak, termasuk penulis sendiri. Wallahua’alaam.

Salam kompak institusi!

Yogyakarta, 06-07-13.





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline