Lihat ke Halaman Asli

Akankah Thomas-Uber Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi?

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13277455802007763972

[caption id="attachment_166861" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Akankah Thomas-Uber kembali ke pangkuan ibu pertiwi? Pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan sebuah ironi yang terjadi pada dunia bulutangkis tanah air. Merosotnya prestasi para atlet kita disertai dengan bobroknya sistem yang ada, ditengarai makin memperparah keadaansaat ini. Piala supremasi bulutangkis dunia yang menjadi lambang kedigdayaan bulutangkis suatu negara tersebut, terakhir kali dipegang oleh Indonesia 8 tahun yang lalu. Itupun hanya Piala Thomas, untuk Uber sendiri sudah sangat lama tidak kembali ke tanah air setelah Susi Susanti dkk terakhir kali membawanya pulang pada tahun 1994. Ya inilah fakta yang ada, tentunya reformasi dan pembenahan di berbagai sektor mutlak diperlukan. Ini semua demi membangkitkan kembali olahraga yang dulu pernah menjadi kebanggaan bangsa ini. Di awal 2012 ini atmosfer Thomas-Uber kembali bergeliat, setelah beberapa hari yang lalu PBSI mengumumkan nama-nama pemain yang masuk ke dalam skuad tim Thomas-Uber Indonesia. Mereka yang terpilih akan mewakili Indonesia untuk mengikuti kualifikasi Piala Thomas-Uber di Macau februari mendatang. Inilah yang terjadi saat ini, dimana tim yang dulu amat disegani sekarang harus tertatih-tatih mengikuti kejuaraan ini dari tahapan kualifikasi. Tahapan kualifikasi ini diperuntukkan bagi negara peserta untuk memperebutkan tempat di putaran final yang akan diselenggarakan di China, Mei mendatang. Namun sebenarnya ada hak istimewa yang memperbolehkan suatu negara tidak mengikuti kualifikasi, yakni apabila negara tersebut merupakan tuan rumah dipenyelenggaraan Thomas-Uber berikutnya atau apabila mereka merupakan juara bertahan pada Thomas-Uber sebelumnya . Tahapan kualifikasi zona asia bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilewati Indonesia karena pesaing dari Malaysia, Thailand, Honkong, Jepang, bahkan Korea Selatan dan China serta negara asia lain telah menanti. Mungkin anda bingung ketika ada China yang mengikuti kualifikasi disana, padahal jelas-jelas China adalah tuan rumah yang sebenarnya memiliki hak istimewa untuk tidak mengikuti kualifikasi, dan juga apabila anda masih ingat 2 tahun yang lalu tim Thomas China berhasil menjadi juara. Itulah China, negeri tirai bambu tersebut penuh dengan kejutan dibalik rencana strategis yang mereka miliki. Ya sebuah rencana strategis, ternyata China mengikutsertakan diri dalam tahapan kualifikasi tersebut untuk memberi kesempatan pemain-pemainnya menambah poin yang nantinya akan mempengaruhi kedudukan ranking mereka sebelum Olimpiade London 2012. Mengapa ini mereka lakukan? Kita semua tahu bahwa tidak semua atlet dapat berpartisipasi pada olimpiade, dan mereka yang bisa berpartisipasi adalah mereka yang memiliki ranking dunia di atas standar. Selain itu apabila ranking pemain-pemain China berada di posisi atas, maka hal tersebut akan menjadikan mereka sebagai unggulan pada olimpiade nanti. Luar biasa strategi dan perencanaan jangka panjang mereka, penuh dengan pertimbangan yang matang dan tentunya relevan. Lantas bagaimana dengan kondisi perbulutangkisan tanah air? Sudahkah kita memiliki rencana strategis dan matang seperti mereka? Tidak usahlah kita berbicara lebih jauh tentang merosotnya prestasi atlet kita akhir-akhir ini, menganalisa permasalahan yang terjadi di dalam induk olahraga bulutangkis tanah air (PBSI) saja sudah cukup membuat hati miris. Bila kita tinjau lebih mendalam, sebenarnya permasalahan dunia bulutangkis tanah air selalu berkutat pada hal finansial dan sistem regenerasi. Padahal bagi saya, kedua hal tersebut bila tidak segera dibenahi akan berimplikasi pada keadaan yang jauh lebih mengkhawatirkan lagi. Ya kondisi finansial, pada organisasi atau lembaga manapun pastilah sokongan dana merupakan hal yang penting, tidak terkecuali PBSI. Ketika kucuran dana kepada para atlet menurun bahkan bermasalah tentunya dampak negatif akan muncul dengan sendirinya. Kita tahu bahwa atlet butuh pengalaman dan pengembangan kemampuan melalui turnamen-turnamen berskala internasional, lantas bagaimana kita bisa mengirim atlet pada kejuaraan-kejuaraan tersebut apabila PBSI tidak punya uang? Tentunya sangat miris melihat kondisi seperti ini, karena pemain pun tidak akan dapat memperbaiki ranking dunianya apabila tidak sering diikutsertakan pada turnamen berskala besar. Mungkin pada kondisi demikian dukungan swasta sangat dibutuhkan, tinggal bagaimana PBSI dapat merangkul dan mengajak kerja sama pihak swasta. Toh bulutangkis merupakan olahraga yang cukup populer di negara kita, jika mau bekerja keras pastilah banyak sponsor yang bersedia mendanai, saya yakin itu. Terlepas dari hal finansial, masalah lain yang juga perlu segera dicarikan solusi ialah mengenai sistem regenerasi. Sedikit-banyak sebenarnya permasalahan pada sistem regenerasi juga dipengaruhi oleh kondisi finansial yang buruk, bagaimana PBSI bisa mengadakan kejuaraan di daerah-daerah untuk menjaring bibit muda bila PBSI sendiri tidak punya uang? Stok pemain bulutangkis yang terbatas harus segera dicarikan jalan keluar. Bagi saya Indonesia tidak pernah kehabisan bibit, banyak pemain-pemain muda yang sebenarnya belum terjaring di daerah. Selain itu atlet junior pun harus diberikan kesempatan bertanding di turnamen internasional juga seperti kakak-kakak seniornya. Hal ini dimaksudkan agar ketika mereka sampai pada tahap peralihan generasi, prestasi atlet kita tetap seimbang. Perbaikan di sektor-sektor yang telah dipaparkan tadi tidaklah berarti apabila sistem penjagaan pemain tidak maksimal. Sudah berapa banyak pemain yang meninggalkan pelatnas? Mereka merasa tidak nyaman disana, tidak cocok dengan sistem yang dijalankan oleh PBSI. Ini bukan suatu masalah jika hanya satu atau dua pemain tanpa prestasi yang keluar, tapi apabila sampai ganda putra peraih emas olimpiade, Markis Kido dan Hendra setiawan ikut angkat kaki dari pelatnas, bukankah itu jelas menggambarkan adanya masalah serius di internal PBSI? Apa yang akan terjadi apabila banyak pemain yang kecewa dengan pelayanan PBSI atau kecewa karena mereka tidak mendapat gaji yang memuaskan atau bahkan kecewa karena tidak pernah diberi kesempatan? Akankah mereka semua nantinya seperti Tony Gunawan yang rela meninggalkan tanah air karena jaminan karier bulutangkis yang menggiurkan dari pemerintah Amerika? Kita harus segera mengevaluasi hal ini dan segera mecari jalan keluar untuk semua masalah tersebut. Bagi saya, sebenarnya kita patut belajar dari negeri tirai bambu. Bagaimana mereka bisa bertahan sekian lama di puncak kejayaannya, bagaimana atlet mereka memiliki mental juara yang luar biasa, dan bagaimana mereka tidak pernah kekurangan bibit pemain muda. Saya yakin hal itu mereka dapatkan bukan tanpa masalah, bukan juga tanpa melalui perjuangan berat, namun pasti ada pengorbanan yang luar biasa di balik itu semua. Indonesia punya bibit pemain muda yang unggul, kita juga memiliki pelatih yang luar biasa, lantas kenapa kita tidak bisa seperti mereka? Saya yakin kita bisa, dan kita pasti bisa membawa kembali Piala Thomas-Uber ke pangkuan ibu pertiwi. Khoirul Anam ( IRUL ) / @anam_irul (twitter) Mahasiswa Kedokteran Semester V Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline