Pukul 14:00 siang, matahari cukup panas untuk mengangkangi bumi. Mas ji akan mendatangi undangan konsultan SDM (sumber daya manusia) yang akan berlangsung pukul tiga mendatang, ia menyiapkan beberapa topik yang akan dibahas untuk beberapa audiens yang hadir dan tidak seperti biasanya ia mengisi beberapa pertemuan tanpa harus menyiapkan topik atau pembicaraan. Didepan jalan sunan gunung jati matahari lebih menyingkir ke arah barat ditutupi lapis-lapis awan yang malang melintang, beberapa gelandang dan tukang mulung bebas melintang melewati sebuah kafe.
Di dalam kafe sudah berkumpul beberapa audience, konselor serta beberapa wartawan, datang satu persatu menempati sebuah kursi dan mengobrol ganyang renyah untuk menunggu acara inti dimulai. Pukul sudah semakin dekat menunjukkan acara akan dimulai tapi Aji Ruantana belum juga datang sebagai pengisi utama acara, ketua panitia mulai sedikit bingung mondar-mandir didepan kafe dan mencoba beberapa kali menelfon tetapi tetap tidak ada jawaban. Dalam keringat dingin mengalir ia berfikir bagaimana kalau pengisi acaranya tidak datang, padahal para audiens yang sudah hadir sangat menantikannya terlebih soal reputasinya yang mencuat dibeberapa media sebagai konsultan bijak yang menulis beberapa jurnal sebagai rujukan pembelajaran di beberapa kampus, dalam bingung ia pun masuk ke ruang belakang kafe dan menanti sebuah keajaiban mengiringi waktu.
Handle pintu tertarik kebawah perlahan pintu terbuka dan serat-serat cahaya mulai masuk dan melebar. Ruangan itu sengaja kosong hanya berisi colokan listrik dan kipas angin sengaja disediakan pemilik toko untuk ruang ganti atau briefing sejenak.
"Saya percaya kau akan datang dalam keadaan apapun" ketua panitia tersenyum lebar, "dan saya tak akan menanyakan kenapa datang lewat pintu belakang itu akan mengulur waktu".
Mas Ji hanya tersenyum dan berjabat tangan. Mereka pun berjalan menuju meja acara dan terlihat pembawa acara berdiri di belakang banner dengan muka menegang dan beberapa audience berwajah lusuh menunggu. Mas ji hanya berjalan tenang melihat ke depan menuju meja utama diikuti pembawa acara dibelakangnya lalu duduk menyapu pandangan pada para audiens. Pembawa acara sedikit tenang dan bahagia lalu berkata-kata sebagai pembuka acara, mata-mata audience menatap dalam-dalam meja utama.
"Lantas apa maksud kedatangan saya disini?" Ia bertanya pada para audiens yang bergeming. "Kalian sudah berkumpul menempati kursi-kursi yang tersedia. Lantas apa tujuan kalian kesini?. Menunggu celotehan konselor yang beberapa hari terakhir mencuat di beberapa media gara-gara mengurus penganiayaan bibinya yang idiot dan menulis beberapa jurnal yang nyentrik itu, semuanya omong kosong hadirin" ia berhenti sejenak menyapu pandangan.
"Kehidupan sudah semestinya berjalan sebagaimana mana waktunya dan sebagai mana tempatnya. Kita tidak akan mungkin menasihati orang kelaparan dengan kata-kata kamu harus makan. Dan jika malam hari kita juga tidak mungkin memberi petuah bahwa tidur diluar itu dingin kepada para gelandangan. Kita berkumpul di dalam ruangan yang aman dari sinar matahari dengan makanan dan minuman yang tersedia didepan kita. Kita akan membicarakan apa saudara?". Ia kembali diam dan pandangannya meloncat luar pintu. "Lihatlah di luar pintu, di luar sebuah ruangan ini. Kita disini hanya sebagai jembatan. Modal kertas, bolpoin. Lalu menyalurkan kebijakan-kebijakan dan mendirikan sebuah yayasan untuk sebuah kemanusiaan visi dan misinya."
Jarum jam sudah berdetak lima belas kali ia baru saja pulang dan merebahkan badan, angin halaman menyelinap ke sela-sela jendela merayu-rayu mata. Terdengar samar-samar ketukan pintu yang semakin keras dan tidak sabaran, mengusik istirahat kehidupan.
"Pulang sekarang juga, keadaan genting" suaranya tegas menghardik wajah mas ji
"Kau datang tak diundang dan menyuruh saya pulang. Menggangu kehidupan saja" jawabnya santai pada Dinyo. Ia mengenalnya dua tahun lalu ketika bermain dirumah kaka iparnya dan sepertinya sampai sekarang ia masih menjadi supir pribadinya.