Wajahnya sedikit lusuh termakan waktu hanya ditemani rokok dan secangkir kopi disebuah warung kopi ujung gang yang dekat dengan kosnya, dengan tas dan pakaian yang sudah rapi ia menunggu kekasihnya lebih dari satu jam untuk menjemput dan mengantarkannya ke toko buku yang ada diseberang kota.
Matanya besam dan sedikit memerah melihat tajam jalanan yang semakin panas dan bertambah macet, debu-debu jalanan berterbangan saling menabrak dan menyentuh rerumputan, kaki-kakinya yang meloncat satu persatu meninggalkan tanah kini menyentuh ruas-ruas celana dan pakaian wono serta mengelus lembut bersama lamunan.
Setelah semalam diguyur fikiran khawatir dan was-was tentang kehidupannya yang membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang. Kini keadaan di siang harinya membuat lemas dan diserbu oleh kantuk yang tak tertahankan padahal sudah diberi kopi dan beberapa batang rokok yang sudah dihisapnya. Ia mulai tak tahan mencermati jalanan dan seisi warung, matanya terasa berat untuk memandang dan pusing mulai bertengger dikepalanya, ia coba beranjak dari duduknya untuk sedikit keluar dari pintu masuk warung agar lebih dekat mencermati lalu lalang kendaraan.
"Ko dia belum juga datang" gerutunya dalam hati sambil menyenderkan badan ditiang listrik depan warung.
Lalu kembali ke tempat dimana ia duduk dan menikmati kopi merayakan penantian, ia kembali duduk dengan tenang lalu menyalakan rokok dan mencermati kembali beberapa orang yang lewat didepan warung. Satu hisap dua hisap sudah terlewati dan secangkir kopi pun sudah mulai menyurut.
Jika kekasihnya datang ia tak ingin marah dan tidak menampakkan wajah sebal serta kecewa karena ada beberapa hal penting yang harus ia utarakan semalam agar keadaan panas disiang hari tidak menyentuhkan suasana diantara keduanya. Rasa penat dan emosi sudah benar-benar bertengger dikepalanya dan ingin sekali merontokkannya agar ketika kekasihnya sudah datang ia tak membagi emosinya dimeja pertemuan.
Dalam diam ia coba memahami perjalanan kekasihnya untuk menjemput dirinya yang jaraknya lumayan jauh, jalanan penuh lubang dan kemacetan ia lewati, dipeluk oleh panas dan dirangkul oleh debu-debu jalanan, wono harap ia tak kecewa untuk hari ini. Tentang segala kepanasan dan keriuhan ada hal yang harus diperjuangkan, wono tak tahu pasti apa yang harus dilakukan selama menunggu selain berfikir dan merasakan, ia menghukum kesendiriannya yang seharusnya menjemput bukan dijemput tapi mau gimana lagi motor tua nya udah dua hari ini mogok dan belum dibawa ke bengkel, sialan.
Beberapa menit kemudian jalanan sudah terasa sepi tak semacet tadi, mungkin beberapa orang yang berkendara sudah sibuk dengan istirahat, menepi diwarung-warung atau masjid untuk sekedar makan atau pun menunaikan ibadah. Satu jam setengah wono menunggu dan rasanya sudah tidak enak sekali dengan pemilik warung kopi karena berlama-lama ditempatnya padahal yang dipesan cuma secangkir kopi saja.
Ia beranjak dari duduknya untuk pulang ke kosan namun setelah berdiri dan hendak mengambil tas dikursinya untuk membayar kopi, handphone disaku celananya bergetar tanda ada telefon yang masuk, ia menjawab telefonya sambil berdiri didepan meja.
*Kamu dimana?*Tanya Inan ketus dan nada sedikit kesal yang meninggi