Lihat ke Halaman Asli

Artha Ikrar Satryawan

analog ph. bookworm. (copy)typist.

Naik Kereta Api Indonesia: Dahulu, Kini, Nanti

Diperbarui: 31 Oktober 2024   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Juk, gejak-gejuk, gejak-gejuk

Kereta berangkat

Juk, gejak-gejuk, gejak-gejuk

Hatiku gembira

Sebagaimana sepenggal lirik Kereta Malam yang saya nukil di atas, demikianlah suasana batin ini bilamana "dipaksa" bertutur kata ihwal kereta. Tentu saja yang dimaksud adalah Kereta Api Indonesia (KAI).

Dan, sebagai cerita, saya akan menuturkannya dari perspektif anak-anak. Mengapa? Sahaja belaka. Sebab, dunia anak-anak adalah alam kehidupan yang berlimpah kepolosan. Ia, kiranya belum terkontaminasi dengan apa dan siapa pun yang bisa membuat tulisan--yang dikarang dengan ria tadi--menjadi condong. Entah ke Ignatius Jonan, Edi Sukmoro, Didiek Hartantyo. Sebagai anak-anak, saya tahunya KAI bisa terpelesat ihwal kemajuannya.

Dahulu

Naik kereta api, tut-tut-tut... Siapa hendak turut?

Naik kereta kelas ekonomi bagi seorang anak kelahiran 1980-an sungguh menyiksa. Karcis mini seukuran-mirip kartu domino itu acap diperoleh dengan untung-untungan. Apabila mau mudah, banyak calo, liar menjajakan. Namun, anak sekecil ini, dari kedua orang tuanya, sudah tahu betul betapa itu bukan aksi terpuji. Berdiri dalam antrean yang mengular, meski melelahkan, sejatinya bahagia.

Tiket diperoleh, urusan belumlah pungkas. Bermain-main di area peron dengan adik semata wayang, menjadi pengusir kantuk dan kebosanan. Bukan apa-apa, kerap kali kereta datang telat. Tepatnya, sangat terlambat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline