Lihat ke Halaman Asli

Pessimist Say "Why?", Optimist Say "Why Not?" and Realist Say "Why Not Now?"

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sebuah keluarga kecil pergi jalan-jalan ke pusat perbelanjaan kota. Mereka tidak pergi untuk berbelanja ataupun makan malam, karena mereka tidak punya cukup uang. Ketika sedang melihat-lihat di toko mainan, sang anak berkata pada ibunya, "Ibu, aku mau mainan itu. Tolong belikan untukku."

Mendengar permohonan anaknya, Ibu pun melihat label harga dan berharap uang di dompetnya cukup untuk menyenangkan sang anak. Ternyata harganya sangat mahal dan ia tidak sanggup memenuhi keinginan anaknya. "Nak, harga mainan itu bisa membayar uang sekolahmu selama 3bulan. Maaf ya, Ibu tidak bisa membelikannya untukmu."

Sang anak nampak sedih, tapi hanya bisa pasrah dan menyusul ayahnya yang sudah ada jauh di depannya. Setelah lelah berkeliling, mereka sekeluarga duduk di taman yang memang disediakan untuk para pengunjung. Terjadilah percakapan di antara mereka.

Sang anak yang masih sedih karena tidak bisa membeli mainan kesukaannya bertanya, "Ibu, tadi katamu harga mainan yang aku mau sama seperti biaya sekolah tiga bulan. Kalau begitu, ayo kita beli mainannya dan aku cukup izin sekolah selama tiga bulan. Aku bisa belajar dari rumah dan meminjam catatan dari teman-teman."

Mendengar ucapan anaknya, Ibu merasa kesal - menyesali keadaannya yang miskin. "Nak, Ayah susah payah bekerja supaya kamu bisa sekolah dan jadi anak pintar. Kenapa kamu malah jadi bodoh begini, memilih mainan daripada sekolah?" nada bicara Ibu mulai meninggi.

Baru sang anak mau bicara, Ibu sudah melanjutkan marahnya, "Memang Ibu mau jadi orang susah? Kalau Ibu punya banyak uang, pasti sudah Ibu belikan kamu mainan yang bagus-bagus. Coba tanyakan ayahmu, kenapa jabatannya di kantor tidak pernah naik dan gajinya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan kita? Kenapa hidup kita begitu menyedihkan sementara keluarga lain bisa makan enak di restoran yang mahal? Kenapa hidup ini rasanya tidak adil bagi kita???"

Tadinya Ayah mau diam saja mendengarkan, tapi karena namanya sudah dibawa-bawa, ia pun angkat biacara, "Bu, Nak, maafkan Ayah karena belum bisa menyenangkan kalian seperti ayah-ayah lainnya. Kalau tidak terpaksa, Ayah juga tidak mau bekerja di perusahaan tempat Ayah bekerja sekarang. Bosnya galak, gajinya kecil, pekerjaannya sangat melelahkan."

Sang anak menjawab, "Kalau begitu kenapa Ayah tidak berhenti saja dan mencari pekerjaan lain yang lebih baik?"

"Ayah juga maunya begitu. Cita-cita Ayah, Ayah mau membuka usaha bengkel motor kecil-kecilan, sesuai hobi Ayah. Tapi Ayah belum bisa mengumpulkan modal untuk sewa tempat dan membeli beberapa mesin. Tapi Ayah yakin, pasti suatu saat Ayah bisa. Kalau teman-teman Ayah saja bisa, kenapa Ayah tidak bisa? Yang penting kita harus optimis. Iya, kan?" jelasnya, mencoba meyakinkan bahwa hidup keluarganya suatu saat pasti akan berubah menjadi lebih baik.

"Kenapa harus menunggu suatu saat, Yah? Kenapa tidak dimulai sekarang saja? Ayah bisa buka bengkel kecil di halaman depan rumah. Apalagi di daerah rumah kita masih jarang yang buka bengkel motor. Sementara cukup bengkel cuci motor dan tambal ban, nanti kalau sudah ada untung baru kita buka bengkel yang lebih besar. Guruku pernah bilang, kalau mau berhasil jangan pernah menunda-nunda pekerjaan," sang anak begitu bersemangat.

Nampaknya anak kecil berusia 12 tahun ini telah menginspirasi sang ayah untuk mengubah kondisi ekonomi keluarga mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline