Lihat ke Halaman Asli

Ria Utami

Blogger

Pendidikan Makin Mahal, Tak Jadi Soal

Diperbarui: 1 November 2015   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita itu bikin saya terhenyak. Tetangga saya meninggal dunia. Dia masih muda, masih berusia sekitar 35 tahun. Yang bikin saya trenyuh adalah istrinya harus menanggung sendiri biaya hidup dua anak mereka yang masih kecil-kecil. Selama ini, suaminya lah yang jadi tulang punggung bagi keluarga itu dan satu-satunya warisan dari sang suami adalah rumah mungil serta tabungan dengan jumlah tak banyak.

Tak terasa air mataku ikut mengalir ketika sang istri yang juga akrab denganku menangis sesenggukan di pundakku. Dia sama sekali nggak ada firasat bakal ditinggal selamanya oleh suami yang terkena serangan jantung. Seketika itu juga, pikiran saya pun menerawang jauh. Rasa ketakutan menyeruak. Bagaimana kalau tiba-tiba saya atau suami harus menghadap pada Sang Pencipta? Bagaimana dengan anak-anak kami? Bagaimana agar mereka tetap bisa memiliki kehidupan yang baik dan punya daya juang tinggi meski ditinggal orang tuanya?

Rasa ketakutan yang tak terbendung itu membuat saya dan suami berpikir, bekal apa yang bisa diberikan kepada anak-anak jika kami nantinya tidak bisa lama mendampingi mereka. Hingga kami sepakat untuk memberikan pendidikan terbaik bagi mereka.  

Seorang penerima hadiah nobel ekonomi 2015 yaitu Angus Stwart Deaton mengatakan bahwa kemiskinan bisa diubah jika mendapatkan pendidikan. Karena itu, ayahnya yang berasal dari keluarga sederhana sampai menghabiskan banyak dari gajinya untuk pendidikan Deaton di Inggris.  (Kompas, 17 Oktober 2015). 

Ya, saya juga masih yakin kalau dengan pendidikan, seseorang bisa bertahan hidup. Kita lihat saja, setiap tempat kerja selalu menjadikan ijazah sekolahnya sebagai syarat formal dalam menjaring para pekerja.

Beruntung bagi mereka yang tidak kesulitan dalam membiayai anak anaknya di sekolah. Namun ada sebagian orang yang merasa biaya pendidikan sangat tinggi. Di Indonesia, meski inflasi hanya berkisar sekitar 3,75 persen, namun kenaikan biaya sekolah bisa mencapai 15 persen.  

Suatu ketika, saya datang ke Edufair di Surabaya, sebuah pameran yang menghadirkan sekolah-sekolah mulai jenjang playgroup sampai SMA. Segebok brosur peserta pameran pendidikan anak itu bikin mata melotot.

Sebuah TK uang pangkalnya Rp 18.500.000, uang sekolah per bulan Rp 1.900.000. Tingkat SD, uang pangkalnya Rp 39.600.000, bulanannya Rp 2.500.000. SMP, uang pangkal Rp 30.500.000, uang bulanan Rp 2.350.000. Ada juga sebuah SMA uang pangkalnya Rp 40.000.000, uang bulanan Rp 4.000.000.

Itu belum masuk universitas. Saya mencoba searching di beberapa website.

Biaya masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan umum atau PMDK umum atau non-prestasi tenyata benar-benar selangit. Di perguruan tinggi negeri sekelas Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, biaya masuk ke fakultas tertentu, seperti Fakultas Kedokteran Umum, bisa mencapai Rp 800 juta.

Biaya sebesar itu disebut secara resmi sebagai sumbangan partisipasi pembangunan pendidikan (SP3). Padahal, biaya tersebut baru sebagai uang masuk. Untuk biaya kuliah per semester, mahasiswa jalur PMDK non-prestasi ini masih harus membayar lagi. Dalam pengumuman resmi di situs unair.ac.id, disebutkan bahwa minimal SP3 Fakultas Kedokteran Umum Unair adalah Rp 150 juta. Angka tersebut bisa meningkat sampai Rp 800 juta seperti yang disebut di atas karena SP3 ini diterapkan secara dinamis dengan mengikuti minat dan tren pendaftar. (kompas.com, Rabu, 21 Juli 2010).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline