Hati-Hati, Elektabilitas Jokowi Anjlok Karena Dua Menteri Ini
Gatot Nurmantio (GN) kena kepret Jokowi. Jenderal bintang empat ini akhirnya diberhentikan dari jabatan Panglima TNI lima bulan sebelum masa pensiunnya. Terlihat jelas GN segera kehilangan "magnet"-nya begitu dicopot Jokowi. Tidak juga tampak gerakan-gerakan politik kelompok Islam yang marah atas pencopotan Jenderal bintang empat ini, seperti ditakutkan sekalangan orang.
Tentara tidak boleh berpolitik, dan harus selalu loyal kepada Presiden sebagai Simbol Negara. Langkah politik yang bagus dari Jokowi, untuk menjegal GN. Rakyat pun terlihat mendukung, setidaknya dengan tidak melakukan gerakan politik membela GN.
Namun anehnya elektabilitas Jokowi malah terus menurun. Elektabilitas Jokowi kabarnya sebenarnya sudah jatuh hingga ke level 30-an persen. Bila tidak dibantu oleh "kerja, kerja, kerja": kampanye bagi-bagi sepeda, buku, kaos, dll dalam setiap kunjungan ke daerah, mungkin angka elektabilitas juragan meubel asal Solo ini lebih rendah lagi ke level 20-an persen.
Faktor utama yang mengurangi elektabilitas Jokowi adalah sebagian menteri Jokowi lebih merupakan liabliitas daripada aset. Ada beberapa menteri yang tidak efisien bekerja. Pertama adalah Menteri BUMN, sang "Lady in Waiting"(seperti dalam sejarah Kerajaan Inggris Abad Pertengahan). Kedua adalah Menteri Keuangan, sang capres wannabe.
Menteri BUMN lebih cocok menjadi Kepala KSP. Atau di luar saja mengoperasikan pengumpulan dana pilpres untuk Jokowi, tapi dengan tetap membiayai kubu oposisi. Masalahnya hubungan Menteri BUMN yang tidak baik dengan DPR menimbulkan persepsi negatif bagi internasional (termasuk investor). Mana ada di negara demokratis manapun, Menteri tidak diterima rapat oleh DPR, perwakilan rakyat selama 2 tahun?
Rakyat yang memilih anggota DPR adalah rakyat yang sama juga yang memilih Presiden. Wajar jadinya bila akibat keberadaan Menteri BUMN, elektabilitas Jokowi terus melorot.
Faktanya memang kinerja Menteri BUMN terhadap sektor yang dipimpinnya juga tidak istimewa, bahkan cenderung memburuk. BUMN-BUMN konstruksi yang mendapatkan seluruh konsesi pembangunan infrastruktur malah terlihat harga sahamnya sudah anjlok semua sejak 2014. Garuda sebagai perusahaan yang paling kita banggakan, malah merugi dua tahun terakhir akibat salah kebijakan pembelian pesawat. Holding pun akan percuma saja bila nantinya malah menimbulkan birokrasi baru (malah menaikkan cost).
Sekarang kita ke Menteri Keuangan. Menteri Keuangan Jokowi saat ini merupakan generasi terakhir dari pengusung mazhab neoliberalisme di Indonesia selama hampir setengah abad (hanya diselingi mazhab konstitusi Gus Dur selama 21 bulan). Guru dan Mahaguru si Menteri Keuangan berasal dari kelompok yang sama yang menggulingkan pemerintahan Bung Karno 50 tahun yang lalu.
Kelompok yang dijuluki Mafia Berkeley ini sukses menjabat wakil presiden pada era SBY yang kedua. Bukan tidak mungkin, di generasi terakhirnya yang menjabat sebagai Menteri Keuangan saat ini akan diproyeksikan untuk menjadi Wapres lagi atau bahkan Capres tahun 2019.
Menteri Keuangan harus berhati-hati dalam setiap langkah politiknya. Stigmanya sebagai pembobol Bank Century akan menjadi peluru yang ampuh pada saatnnya. Tapi saat ini, di tengah pemerintahan Jokowi yang (keinginannya) bercorak nasionalis, ia harus lebih banyak kompromi terhadap program-program yang bertentangan dengan mazhab ideologinya. Setidaknya ia berhasil memprioritaskan pembayaran debt service Rp 640 triliun di APBN (di atas anggaran infrastruktur dan pendidikan), menjaga marwahnya di dunia keuangan Internasional, bagi para pemegang bondholder.