BELUM lama ini seorang pejabat tinggi di sebuah kementerian yang menterinya santer disebut-sebut bakal kena reshuffle mengeluh, sebab dia harus melayani permintaan ini dan itu dari sekelompok jurnalis yang tergabung di dalam sebuah wadah yang menamakan diri secara sangat eksklusif dan mengkesankan diri mereka sebagai kelompok yang seolah-olah benar-benar merepresentasikan kepentingan wartawan.
Permintaan mereka seringkali aneh-aneh, memalukan, dan merendahkan harga diri wartawan.
Menjelang lebaran seperti ini misalnya umumnya mereka minta THR, tetapi ada juga yang minta tiket pesawat, sebelumnya ada yang minta dimasukkan asuransi tertentu, ada yang minta saham, minta handphone seri terbaru, bahkan sampai minta biaya untuk anak sekolah di luar negeri.
Modus operandi gerombolan jurnalis ini sebenarnya tidak ubahnya dengan kelakuan para ‘’wartawan bodrek’’, hanya saja karena umumnya mereka punya jabatan tinggi di kantor redaksi masing-masing, maka seringkali para narasumber yang menjadi korban terkecoh.
Biasanya mereka mendatangi para menteri yang namanya disebut-sebut bakal jadi target reshuffle. Pertemuan dilakukan secara tertutup dan off the record. Dalam kesempatan itu biasanya mereka ‘’menjual informasi’’ yang sebelumnya mereka dapat dari narasumber atau kolega mereka. Misalnya mengaku-ngaku bahwa informasi yang mereka sampaikan berasal dari istana, dari pejabat penting di kementerian X, tetapi tidak jarang informasi mereka merupakan hasil analisis ngawur dari mereka sendiri.
Para menteri yang jadi target reshuffle ini umumnya memang punya kebutuhan untuk bertemu dengan gerombolan wartawan ini, dengan harapan bisa mendapatkan bantuan pemberitaan untuk pencitraan, tidak jarang para menteri tersebut juga memenuhi permintaan memasang iklan bertarif tinggi dengan sistem kontrak mencapai angka miliaran rupiah.
Jadi ibaratnya sekali pukul dapat dua untung. Pertama keuntungan pribadi yang didapat oleh si jurnalis petualang itu sendiri, yang kedua adalah keuntungan untuk perusahaan media massa tempatnya bekerja.
Nama menteri BUMN termasuk yang disebut-sebut sering melakukan pertemuan dengan kelompok wartawan ini, termasuk menteri ESDM.
Di masa Soeharto memang pernah ada wadah para petinggi wartawan yang bernama Editors Club, saya ingat waktu itu kantornya di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, beberapa meter dari Bina Graha. Wadah ini merupakan perpanjangan tangan pemerintah Orde Baru dalam rangka ‘’membina’’ para wartawan ketika itu.
Gerombolan jurnalis yang terdiri dari para petinggi di segelintir media massa yang ada saat ini pun sebenarnya juga merupakan perpanjangan tangan pemerintahan. Hanya saja mereka ini adalah perpanjangan tangan pemerintahan sebelum pemerintahan Jokowi ada. Waktu itu pemerintahan sebelum Jokowi tersebut sangat tergila-gila pada aspek pencitraan di media massa sehingga mendukung pembentukan wadah para jurnalis petualang ini.
***