Lihat ke Halaman Asli

Korupsi Berjamaah: Sistemik

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

aldnp 11

[caption id="" align="alignleft" width="400" caption="Gb dari http://stat.ks.kidsklik.com/ "][/caption]

Kita tinggalkan dulu lamunan Andragi yang sedang terperosok dalam lubang gelap setelah ia sadar dari pingsannya itu. Anda tentu ingin tahu apa yang diperbuat si boss setelah rapat yang menegangkan itu.

Begitu selesai menutup rapat yang membuatnya terkejut itu, segera pula ia kembali ke ruang kerjanya yang tertutup dan memastikan pintunya tertutup rapat (kata rapat yang ini berbeda artinya dengan yang sebelumnya, anda tahu kan?). Ia lalu menghempaskan tubuh gemuknya di kursi empuk yang megah dan mewah. Selain besar, kursi itu berpunggung tinggi dan berhiaskan ukiran kayu jati pada sandaran tangan dan kepala. Namanya juga kursi boss! Bukankah kursi melambangkan kedudukan seseorang serta kekuasaan yang berada di dalam genggamannya?

Tangan kirinya segera meraih gagang telpon sementara yang satunya menyusul dengan menekan tombol angka-angka yang tertera disana. Nomor yang dipencetnya itu adalah nomor khusus, hotline, yang tidak diketahui oleh orang lain, termasuk sekretaris pribadinya. Setelah itu ditempelkannya benda itu ditelinga kirinya sementara tangan kanannya meraih sapu tangan dari saku celana dan menyeka peluh yang membasahi wajahnya, sambil menanti nada sambung dari ujung telpon. Tak lama kemudian terdengar suara berat dari seberang sambungan telepon.

“Ya, ada apa pak Duma?” suara berat itu terasa menusuk telinganya.

Saat itu belum ada telpon yang mampu menunjukkan nomor pengontaknya. Kalau orang diseberang sana tahu siapa yang menghubunginya, tentulah nomor itu adalah nomor khusus.

“Anu, pak…. Selamat …siang pak,” katanya tergagap-gagap.

“Ya, Selamat siang! Ada masalah apa disana?!”

Suara itu lebih berat dan menekan. Tampaknya si pemilik suara telah mencium gejala yang tidak bagus.

“Anu..pak,.. Ada yang membongkar soal pembelian barang persediaan itu, pak.”

“Apa…?! Benarkah begitu?!!”

Nada suara si penanya jelas menunjukkan keterkejutannya. Selama ia bekerja hingga menduduki posisinya sekarang ini, belum pernah didengarnya hal seperti ini terjadi. Biasanya, berita melalui nomor khusus itu hanyalah tentang penambahan dana untuk pembelian barang yang harus disediakannya atau pembagian uang hasil kerja busuk mereka. Ini ibarat petir di siang bolong. Di jaman itu mana ada yang berani buka mulut. Segalanya sudah sedemikian rapi dijalin sehingga tak ada seorangpun yang masuk di dalam sistem atau jaringan tersebut yang tidak memperoleh bagiannya. Bahkan banyak diantara mereka, khususnya para pegawai biasa, tidak menyadari kalau mereka adalah bagian dari sistem yang busuk itu, dan ikut menikmatinya.

Memang sudah menjadi sesuatu yang tak terpisahkan atau dibuat sebagai suatu sistem yang terkait dengan kebijakan maupun pola pengelolaan organisasi lembaga yang bersangkutan. Bukan rahasia lagi jika para pegawai pemerintah itu bergaji kecil dan hanya cukup untuk hidup selama setengah bulan, tetapi nyatanya mereka hidup lebih baik dari pada kebanyakan rakyat. Bukankah setiap kali ada lowongan pegawai pemerintah ribuan orang yang mendaftarkan diri? Bahkan para calon mertua pun menginginkan anaknya menikah dengan pegawai pemerintah.

Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Kita bedah pada artikel berkutnya, ok?

- Anak Langit Di Negeri Pelangi -

Sebelumnya l    Sesudahnya

  1. Kejar dan Habisi Dia !
  2. Begini Rasanya Mati
  3. Pagar Makan Tanaman
  4. Membongkar Pembelian Fiktif
  5. Antara Pacar dan Sepeda Motor
  6. Senyum Yang Terindah
  7. Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh
  8. Dia yang Berkotbah, Dia Yang Korup
  9. Para Saksi Harus Dilenyapkan
  10. Pemerintahnya Ganti, Sistemnya Sama Saja
  11. Korupsi Berjamaah: Sistemik
  12. Korupsi Berjamaah: Mentalitas Proyek
  13. Bos Koruptor Di Posisi Kunci
  14. Orang-Orang Lingkaran Dalam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline