SEKARANG banyak orang bertanya-tanya siapa sebenarnya penasihat politik Ahok, penasihat komunikasi, atau juru disain pencitraan dia untuk maju jadi cagub di 2017 nanti? Apalagi Ahok jadi gubernur sebenarnya bukan karena diinginkan oleh rakyat melainkan karena ‘’kebetulan’’ belaka gara-gara Jokowi naik jadi presiden…
Kenapa Ahok terkesan seolah-olah jadi ‘’membesar’’ seperti sekarang dan seolah-olah warga Jakarta butuh orang seperti Ahok? Malah ada yang ge-er bahwa tidak akan ada yang bisa menandingi Ahok. Seakan-akan dia Samson atau Pendekar Sakti Mandraguna Dari Delapan Penjuru Angin.
Ahok jadi ‘’membesar’’ seperti sekarang, pertama karena salah satu partai pendukungnya yaitu Nasdem punya media massa, yaitu Metro TV, online, dan beberapa koran cetak.
Ini mesin pencitraan yang efektif untuk menaikkan rating Ahok sejak Nasdem menyatakan dukungan. Agenda setting pun disiapkan: mulai dari para pengamat yang pro, angle-angle pemberitaan dan foto-foto yang bermuatan positif mengenai Ahok, serta tekhnik-tekhnik dan strategi-strategi pencitraan lainnya.
Mesin pencitraan ini berjalan cenderung dengan mengenyampingkan etika content, misalnya yang berkaitan dengan lisan Ahok yang sering terasa menyakiti publik dan porsi pemberitaan yang tidak memadai berkaitan dengan terseretnya Ahok dalam kasus Reklamasi dan kasus Sumber Waras.
Kedua, gaya Ahok yang arogan dianggap sebagai semacam diferensiasi, sebagai sesuatu yang berbeda, yang nyeleneh, nekat, tukang ngelabrak, bertolak belakang dengan kesantunan yang sering hipokrit. Diferensiasi memang dibutuhkan dalam positioning politik dan bagian dari marketing politik, tetapi kenyataannya gaya Ahok yang (sok) diferensiasif ini bertabrakan dengan realitas sosial dan masalah-masalah super sensitif di dalam masyarakat, seperti isu SARA.
Ketiga, dukungan terhadap citra dirinya yang arogan dan neo-fasis nampaknya hanya berkutat di dunia maya dan dunia sosmed. Itu pun hanya dilakukan oleh segelintir atau sekelompok ‘’teroris’’ sosmed belaka.
Keempat, wacana sejuta tandatangan buat Ahok sebenarnya cuma mitos/kampanye kosong belaka, seperti cerita mitos Bandung Bondowoso membangun seribu candi dalam satu malam yang diminta oleh Roro Jonggrang. Candinya kagak jadi, karena telanjur datang fajar pagi, walaupun Sang Bandung Bondowoso sudah minta bantuan dedemit, jin, dan makluk halus.
Wacana atau jargon sejuta tandatangan yang dibarengi dengan anggapan bahwa Ahok tidak butuh partai telah membekaskan ketidaksukaan dari petinggi-petinggi partai besar dan berpengaruh (kecuali Nasdem, Golkar, dan Hanura). Ini adalah salah satu bentuk arogansi Ahok, selain memang dikenal sebagai kutu loncat dari Partai Indonesia Baru, Golkar, Gerindra.
Kelima, kalau dipetakkan secara cermat dukungan media massa terhadap Ahok sebenarnya tidak sebesar yang dibayangkan, selain dukungan dari segelintir media mainstream yang jumlahnya masih dalam hitungan jari. Banyak jurnalis lapangan yang sebenarnya tidak suka dengan lisan dan arogansi Ahok. Ahok masih diburu para jurnalis karena aspek hebohisme-nya (plus kasus hukumnya), aspek tukang labraknya, bukan substansi, bukan integritas atau tranck record-nya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H