Apa yang terbayang di benak anda ketika seseorang menyebutkan kata april? Kartini mungkin salah satu jawabannya. Bulan ini memang bulan kelahiran pejuang emansipasi wanita. Seorang yang menginspirasi dunia dan mengatakan bahwa wanita wajib mendapatkan pendidikan agar memperoleh kehidupan yag lebih baik. Sejauh ini,semestinya Ibu Kartini bisa bernafas lega, karena meski belum semua, namun sudah ada beberapa wanita Indonesia yang kiprahnya diakui dunia. Sebutlah ibu Sri Mulyani. Wanita Indonesia dari yang tinggal di kota hingga di desa juga sudah banyak yang menyenyam pendidikan, minimal pendidikan dasar. Wanita Indonesia juga sudah berperan dalam dunia kerja, bahkan sudah ada dua supir busway dengan jenis kelamin perempuan. Setidaknya itu bukti, bahwa perjuangan ibu Kartini mulai membuahkan hasil.
Bulan ini, selain memperingati hari Kartini kita juga memperingati hari Kesehatan, meski gaungnya tidak begitu terdengar. Ironisnya, emansipasi Kartini masih belum tersalurkan di bidang kesehatan. Bukan dilihat dari jumlah perempuan yang bekerja di bidang kesehatan, namun lihat dari masih kurangnya kesejahteraan perempuan dalam bidang kesehatan.
Kurangnya kesejahteraan dalam bidang kesehatan terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Jika kita ibaratkan, kematian ibu di Indonesia dalam satu jama adalah seperti satu pesawat jumbo jet penuh dengan wanita hamil, terjatuh dan semuanya meninggal.Banyak ya?
Salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu adalah masih rendahnya kesadaran perempuan dalam hal Hak Kesehatan Reproduksi. Jika seorang perempuan sadar dan tahu hak reproduksinya, maka kemungkinan angka kematian ibu bisa di tekan. Berikut adalah hak kesehatan reproduksi yang di sahkan di Kairo tahun 1994
- Hak semua pasangan dan individual untuk memutuskan dan bertanggung jawab terhadap jumlah, jeda dan waktu untuk mempunyai anak serta hak atas informasi yang berkaitan dengan hal tersebut;
- Hak untuk mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik serta hak untuk mendapatkan pelayanan dan informasi agar hal tersebut dapat terwujud; dan
- Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan reproduksi yang bebas dari diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan.
Kurangnya pemahaman perempuan mengenai Hak-Hak Kespronya juga di pengaruhi dengan lemahnya kedudukan perempuan dalam rumah tangga. Contoh soal yang ringan adalah ketika terjadi kegawatan dalam persalinan, maka perempuan tidak bisa memutuskan tindakan apa yang terbaik untuk dia, apalagi jika menyangkut pembiayaan. Maka semua akan bergantung pada keputusan suami atau anggota keluarga lain yang dianggap lebih berkuasa. Kekuasaan terkadang diukur dengan seberapa besar peran seseorang dalam perekonomian keluarga. Namun di beberapa daerah, meski perempuan yang bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga, ia tetaplah perempuan yang harus menurut apa kata suami hatta untuk hal yang menyangkut kesehatan reprodusinya. Bahkan ketika bersalin ia diharuskan menyepi di hutan, sendirian tanpa dukungan suami.
Melalui tulisan ini, saya tidak ingin memprovokasi para wanita untuk melawan suami. Tidak, suami adalah kepala keluarga yang tetap harus dihormati. Saya hanya ingin, perempuan lebih sadar akan hak-hak nya. Dan para suami yang membaca tulisan ini juga memahami hak-hak istrinya dalam hal kesehatan reproduksi.
Status pendidikan dan pekerjaan tidak menutup kemungkinan bagi seseorang untuk buta terhadap hak-hak kesehatan reproduksi. Ada cerita tentang seorang kawan yang usianya jauh dia tas saya. Pasangan itu berusia di atas 40 tahuan. Suatu ketika saya bertemu dengan istrinya yang rupanya sedang hamil lagi anak ke 9 di usianya yang ke 43 tahun sebelum setengah tahun yang lalu keguguran anak ke 8. Wew... usia diatas 35 tahun sudah merupakan factor resiko bagi seorang perempuan untuk bersalin, ditambah dengan ini kehamilan yang ke 9. Yang lebih memprihatinkan, si mBak ini mengeluh kepada saya bahwa sebenarnya beliau sudah capek hamil dan melahirkan. Namun obsesi suaminya yang berkeinginan memiliki anak banyak agar keluarganya menjadi keluarga besarlah yang memaksanya hamil lagi. Jangan dikira mereka pasangan tidak berpendidikan, keduanya sarjana dan keduanya memiliki pekerjaan.
Cerita di atas menggambarkan betapa perempuan kurang memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Termasuk dalam hal pemilihan alat kontrasepsi yang terbaik untuknya.
Bentuk lain dari belum merdekanya ‘Kartini’ di bidang kesehatan adalah ketika terjadi bencana, maka berapa persen dari bantuan-bantuan itu yang memperhatikan masalah perempuan seperti pembalut misalnya. Sudahkah toilet-toilet yang dibangun ramah perempuan, bahkan ada beberapa kisah tentang pelcehan seksual pada kondisi bencana. Lelaki yang memiliki power atas pembagian makanan akan mentransaksikan makanan dengan penyakuran kebutuhan seksual. Cerita teman saya yang berasal dari Takengon, Aceh Tengah, ketika Aceh di berlakukan DOM, wanita pulalah yang menjadi korban. Baik oleh aparat maupun oleh GAM.
Wanita dengan segala bentuk anatomis dan fisiologisnya, mengemban amanah besar untuk mengandung generasi penerus bangsa ini. agar tercipta generasi yang sehta dan kuat haruslah di mulai sejak dalam kandungan. Di kandung dalam keadaan sehat oleh seorang perempuan yang sehat. Namun, faktanya, masih banyak perempuan yang menderita anemia. Anemia sangat di pengruhi oleh asupan gizi yang dikonsumsi seseorang, meski factor perilaku juga mempengaruhi. Di daerah tempat saya bekerja, ibu/ perempuan seringkali harus mengalah ketika pembagian makanan berlangsung. Mungkin ini klasik, tapi ini masih terjadi. Hal lain, yang menyebabkan anemia adalah karena factor ekonomi yang kurang. Sebenarnya pemerintah sudah mengalokasikan bantuan berupa pemberian susu bagi ibu hamil yang kurang energy kronik (KEK) namun, jangan di kira ibu mengkonsumsi susu tersebut sendirian. Tidak jarang anak-anaknya juga ikut menikmati
Perilaku yang kurang sehat juga mendukung redahnya kesehatan peempuan. Perilaku yang kurang sehat ini dipicu oleh kurangnya pengetahuan. Masyaraka terkadang kurang mendapatkan informasi yang benar mengenai suatu hal, sehingga beranggapan keliru. Masih berpengaruhnya pola kebiasaan dan budaya yang kurang mendukung perilaku sehat juga semakin memperburuk keadaan.
Melalui tulisan ini, saya berharap, semua pihak dapat membantu Ibu Kartini mewujudkan cita-cita nya dalam segala hal termasuk dalam bidang kesehatan. Anda, apapun profesi anda bisa trut sera dalam hal ini. Buatlah perempuan di sekitar anda menjadi lebih sadar kahan hak-hak kesehatan reproduksinya dan jika anda mengetahui informasi mengenai sesuatu yang benar yang dapat membuat seorang perempuan di sekitar anda berperilaku lebih sehat maka informasikanlah. Semoga perempuan Indonesia menjadi lebih sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H