Lihat ke Halaman Asli

Kegagalan Reformasi Birokrasi dan Perkembangan Teknologi Informasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini begitu pesat, hingga banyak kalangan merasa bahwa hal tersebut terkesan menimbulkan banyak efek negatif. Sebagai contoh: banyak orang tua yang merasa kesulitan ketika harus mengontrol tingkah laku dan pergaulan putra-putrinya karena banyak nya arus informasi yang masuk kepada mereka (terutama dari jejaring sosial seperti facebook, google+, dan media informasi lain lewat internet); contoh lain adalah pelaku-pelaku korupsi dan pencucian uang juga menggunakan kecanggihan teknologi informasi ketika melakukan kegiatan-kegiatan melanggar hukum.  Sebagai contoh, pelaku tindak pidana korupsi menggunakan kecanggihan bank untuk melakukan transfer dari satu rekening ke rekening lain, baik dari dalam  maupun ke luar negeri, dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatannya. Apabila dicermati hal semacam ini (reb. korupsi) sebenarnya bisa terjadi karena belum tertibnya administrasi dan pengelolaan sumber-sumber dan penggunaan keuangan Negara. Beberapa hal masih dilakukan secara manual, sehingga memungkinkan terdapat celah-celah yang dapat digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan sebuah kejahatan (korupsi dan pencucian uang). Sebagai contoh riil kasus Nazaruddin dalam proyek Wisma Atlit terjadi karena proses tender yang masih dilakukan secara manual, jika saja proses tender dilakukan dengan menerapkan IT (Teknologi Informasi) mungkin akan berbeda keadaanya, karena IT akan mamberikan penilaian yang obyektif sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan sebelumnya. Contoh lain adalah kasus Pajak  yang sedang marak oleh DW, kasus ini terjadi dikarenakan ada kebocoran dalam hal setoran wajib pajak, kepada kantor Pajak, yang notabene dapat dilakukan nego-nego antara Wajib Pajak dengan pegawai kantor Pajak, sehingga merugikan pemerintah. Coba jika saja pembayaran pajak dilakukan dengan autodebet  terhadap rekening Wajib Pajak (baik perorangan maupun perseroan), tentunya akan memperkecil ruang gerak bagi para koruptor untuk melakukan korupsi. Tentunya hal ini tetap harus didukung dengan peraturan (Undang-Undang, PP, Perpres, Kepres, dll) yang mengatur secara tegas tentang adanya sanksi, misal pencabutan izin usaha bagi perusahaan yang menunggak pajak lebih dari waktu yang ditentukan. Begitu juga dalam melakukan perhitungan besaran nilai pajak, penggunaan teknologi informasi juga sangat diperlukan. Teknologi informasi yang menghubungkan semua bank, dinas-dinas pemerintah (agraria, kepolisian, dispenda) dan instansi pemerintahan lain yang berhubungan dengan pajak dan keungan untuk mempermudah perhitungan harta benda seseorang, istri/suami, anak, keluarganya secara menyeluruh, sehingga meminimalkan kesempatan untuk melakukan korupsi. Karena dimungkinkan pelaku korupsi melakukan berbagai macam hal untuk mengaburkan harta hasil kejahatannya, sebagai contoh: membeli tanah, rumah atas nama istri, anak atau anggota keluarganya yang lain (bisa dimonitor melalui Sistem Informasi Kementrian Agraria), membeli kendaraan bermotor atas nama istri, anak atau anggota keluarganya yang lain (bisa dimonitor melalui Sistem Informasi Kepolisian). Jika penggunaan Teknologi Informasi benar-benar digunakan dalam rangka Reformasi Birokrasi, tentunya diharapkan idealisme Reformasi yang di dengung-dengungkan, dan diharapkan seluruh Rakyat Indonesia akan dapat terwujud.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline