Lihat ke Halaman Asli

Dana Desa, Peluang Untuk Siapa?

Diperbarui: 10 Agustus 2015   13:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, ditemani secangkir teh hangat manis dan singkong goreng di depan rumah sembari sibuk menyapa petani yang hendak pergi menggarap sawah, sebuah berita menghiasi layar handphone saya. Dana Desa Tahap I Sebesar 8,28 triliun Sudah Dicairkan 100 Persen, begitulah bunyinya. Saya pikir akhirnya setelah sekian lama desa mengemis dalam pemenuhan pembangunan, kini bisa bernafas lega. Pasalnya, dana desa dapat dimanfaatkan secara penuh oleh desa, sesuai dengan Undang-Undang No.6 Tahun 2014. Saya bukanlah orang yang mengerti seluk-beluk birokrasi pemerintahan. Meskipun begitu, dari informasi yang saya peroleh dari teman yang notabene merupakan perangkat desa, dengan adanya dana desa ini ia sangat bersyukur, karena desa dapat melakukan pembangunan secara mandiri. Memang, saya melihat pada tahun-tahun sebelumnya desa sulit berkembang karena terkendala masalah dana, atau pencairan anggaran yang harus melalui birokrasi yang cukup panjang. Walhasil, desa hanya bisa menggerakkan satu atau dua sektor utamanya, dan pembangunan desa tidak mampu berjalan dengan maksimal.

Dengan dikucurkannya dana desa tahun ini, seharusnya kepala desa dan seluruh perangkatnya sudah mulai memikirkan berbagai langkah strategis untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat desa. Mulai dari pembangunan irigasi dan waduk sebagai langkah preventif kekeringan (Baca: Kekeringan Masalah Sepele? Pikirkan Lagi!), atau memaksimalkan sumber daya alam dan manusia yang terdapat di desa. Dalam pasal 87 UU No.6 tahun 2014, pemerintah juga meminta agar desa bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bekerja sama membantuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), di mana dengan BUMDes tersebut desa berpeluang untuk mewadahi berbagai hal strategis yang berkaitan dengan usaha dan hasil kreativitas serta produktivitas masyarakat desa. Intinya, pengembangan desa secara mandiri mulai dapat dilakukan oleh desa dengan dana desa yang turun sebesar kurang lebih 1,4 miliar, serta pengarahan dan pengawasan yang dilakukan oleh pendamping desa yang ditempatkan di seluruh desa.

Dana desa memungkinkan para kepala desa untuk berpikir kritis tentang bagaimana memajukan dan mensejahterakan desanya sendiri. Dari pemanfaatan dana desa inilah kita selaku masyarakat dapat mengetahui seberapa tajam kepekaan kepala desa dalam menganalisa kebutuhan masyarakat. Analisa yang tajam terhadap kebutuhan masyarakat akan melahirkan tingkat pembangunan dan pengembangan ekonomi yang tinggi (Baca: Dana Desa Dorong Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Nasional). Sedangkan analisa yang tumpul akan melahirkan tingkat pembangunan dan pengembangan ekonomi yang rendah pula. Analisa yang tajam tidak semata-mata diukur dari tingkat pendidikan yang tinggi, tapi juga berdasarkan pengalaman yang luas, kejelian dalam melihat dinamika masyarakat, serta niat dan tekad yang utuh dalam mengabdikan diri kepada masyarakat. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, anda sendiri dapat menilainya.

Selain peran sentral kepala desa dan BPD dalam merumuskan pengembangan desa, pemerintah juga menunjuk pendamping desa yang bertugas untuk mengontrol aliran dana desa yang menjelma dalam program-program yang dianggarkan oleh desa. Terobosan yang gemilang ini memancing para lulusan sarjana untuk berlomba-lomba menuangkan gagasan serta keahlian mereka dalam memajukan desa. Memang, perangkat desa yang kerap kali diisi oleh orang-orang yang jarang meng’upgrade’ diri, menghambat kemajuan desa. Ini pula yang menjadi penyebab keterlambatan desa dalam mendapatkan informasi segar dari luar, sebagai contohnya pengadaan internet. Tanpa adanya akses internet di desa, maka selanjutnya desa akan sulit untuk mengakses info-info terbaru tentang bagaimana mengembangkan sumber daya yang terdapat di desa. Inilah mengapa para pendamping desa diperlukan dari orang-orang yang berpendidikan tinggi serta aktif mengupgrade diri. Agar kelak desa tidak lagi dianggap ‘kampungan’.

Desa bisa jadi merasa dimanjakan dengan dana desa dari pemerintah pusat. Tapi apakah program dana desa dapat benar-benar bebas dari praktek korupsi? Terlepas dari apa pun niatnya, korupsi dapat masuk dari jalan mana pun, termasuk dari pengelolaan dana desa. Dana desa yang diselewengkan demi kepentingan pribadi bisa saja terjadi, terlebih jika hal tersebut menyusup dalam program siluman yang dibuat-buat oleh perangkat desa. Atau, jumlah anggota BPD yang tidak seberapa bisa saja disuap untuk meloloskan beberapa program tertentu yang menguntungkan segilintir orang. Dengan dana 1,4 milliar siapa yang tidak kalap? Tanpa diiringi oleh niat dan tekad yang luhur untuk membangun desa, maka praktek korupsi sangat mungkin terjadi. Jumlah uang yang tidak sedikit tersebut, jika dimaksimalkan, mampu memenuhi kebutuhan masyarakat serta pengembangan dan pembangunan sektor strategis desa.

Disinilah saya kira pertanyaan yang terdapat pada judul di atas pantas untuk ditanyakan. Apakah dana desa menjadi peluang desa untuk berkembang lebih baik, atau menjadi lahan basah bagi para oknum untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Wassalam (MA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline