Lihat ke Halaman Asli

Fras An

Rough Sea Makes A Good Captain

Kenaikan Pajak Barang Mewah Premium : Kebijakan Menggugah asa atau Menebar Asa Palsu

Diperbarui: 24 Desember 2024   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ketika anggaran negara semakin menipis seperti aliran sungai di musim kemarau, pemerintah datang dengan kebijakan yang diharapkan menjadi oasis dalam gurun keuangan nasional: menaikkan pajak untuk barang-barang mewah. Sebuah langkah yang, di permukaan, tampak sederhana---mengambil lebih banyak dari mereka yang sudah memiliki banyak. Namun, di balik permukaan yang tampak tenang itu, ombak kebijakan ini dapat merambat jauh ke dasar masyarakat, membawa gelombang dampak yang lebih kompleks dari yang terlihat.

Dengan menaikkan tarif pajak barang mewah dari 11% menjadi 12%, pemerintah ingin mengisi pundi-pundi negara. Di atas kertas, langkah ini terdengar masuk akal: barang mewah bukanlah kebutuhan pokok, dan mereka yang membelinya pasti mampu membayar tambahan pajak. Tapi apakah benar dampaknya hanya sebatas itu? Atau ada sesuatu yang lebih dalam, yang mungkin diabaikan oleh pengambil kebijakan?

Pajak Barang Mewah: Retorika Adil di Atas Ketidakadilan?

Kenaikan pajak pada barang mewah sering kali dipasarkan sebagai langkah untuk "memajukan keadilan sosial." Retorika ini menggugah perasaan: seakan-akan mereka yang memiliki kekayaan berlimpah kini akan "diberdayakan" untuk mendukung pembangunan negara. Namun, retorika ini mengandung jebakan. Pajak barang mewah, meskipun terlihat menyasar kelas atas, tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari dampaknya pada masyarakat kelas menengah dan bawah. Bagaimana bisa?

Coba bayangkan sebuah mobil mewah. Mobil itu, meskipun hanya dimiliki oleh orang-orang kaya, dihasilkan oleh tangan-tangan pekerja pabrik, dirakit dengan komponen dari industri lokal, dan dijual oleh tenaga penjual yang mungkin berasal dari kelas menengah. Ketika permintaan mobil mewah turun karena pajak yang lebih tinggi, rantai ekonomi ini ikut terhenti. Pekerja kehilangan jam kerja, industri pemasok bahan baku mulai terseok, dan para tenaga penjual menghadapi ketidakpastian.

Ironisnya, dampak seperti ini hampir selalu luput dari perhitungan. Kebijakan yang tampak "adil" di satu sisi bisa menjadi katalis bagi ketidakadilan baru di sisi lain. Pajak barang mewah adalah seperti memukul genderang besar dengan tongkat kecil---dampaknya terdengar jauh lebih keras daripada yang seharusnya.

Efek Domino: Dari Istana ke Gang-Gang Kota

Apa yang terjadi di puncak piramida ekonomi jarang berhenti di sana. Kenaikan pajak barang mewah dapat memengaruhi kelas menengah dan bawah secara tidak langsung, seperti batu kecil yang dilemparkan ke kolam yang tenang. Gelombangnya meluas, menciptakan efek domino yang sulit dihentikan.

Misalnya, kenaikan pajak pada properti mewah tidak hanya memengaruhi pemiliknya, tetapi juga tukang bangunan, desainer interior, dan bahkan penyedia layanan kebersihan. Di sisi lain, pajak pada kendaraan mewah dapat merambat ke bengkel kecil, produsen suku cadang, dan jasa servis yang menjadi tulang punggung ekonomi kelas menengah. Tanpa disadari, mereka yang "tidak membeli barang mewah" justru ikut merasakan beban kebijakan ini.

Dan ini belum menghitung efek psikologisnya. Dalam masyarakat yang sudah letih dengan berita tentang korupsi dan pemborosan anggaran, kebijakan ini bisa dipersepsikan sebagai langkah kosmetik---hanya menambal masalah tanpa benar-benar menyelesaikannya. Ketidakpercayaan ini dapat memicu resistensi sosial yang jauh lebih berbahaya daripada dampak ekonomi itu sendiri.

Korupsi dan Utang: Gajah di Dalam Ruangan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline