Lihat ke Halaman Asli

Fras An

Rough Sea Makes A Good Captain

Kenaikan Pajak ; Beban Rakyat

Diperbarui: 22 Desember 2024   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Hal yang paling sukar dipahami di dunia ini adalah pajak penghasilan."- Albert Einstein 

Kebijakan kenaikan pajak di Indonesia terus menjadi isu panas yang menuai polemik. Baru-baru ini, pemerintah kembali mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan diberlakukan mulai Januari 2025. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur strategi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara demi mendukung pembangunan nasional. Meski terlihat sebagai upaya menambal kas negara, kenaikan pajak ini menjadi sorotan, terutama karena dampaknya terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan beban ekonomi, khususnya bagi kelas bawah.

Pemerintah mengklaim bahwa kenaikan ini sesuai standar global. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bahwa tarif PPN Indonesia masih lebih rendah dibandingkan rata-rata global, yang mencapai 19,2 persen di negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Namun, di tingkat regional, Indonesia akan sejajar dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara. Meski barang kebutuhan pokok seperti beras, susu, dan gula konsumsi diberikan pembebasan PPN, kebijakan ini tetap dianggap tidak memadai dalam meredam dampak domino kenaikan harga pada barang dan jasa lainnya. Apalagi, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah menghadapi beban ekonomi berat justru menjadi yang paling terdampak.

Kapitalisme dan Ketergantungan Negara pada Pajak

Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara untuk membiayai operasional pemerintahan dan program-program publik. Berbagai jenis pajak diberlakukan secara luas, mulai dari pajak penghasilan, PPN, pajak kendaraan, hingga pajak properti. Sistem ini memberlakukan pajak tanpa pandang bulu, termasuk terhadap mereka yang berada di lapisan masyarakat miskin. Akibatnya, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah tetap tidak bisa menghindari beban pajak, terutama melalui pajak konsumsi seperti PPN, yang berlaku universal.

Ketergantungan yang besar pada pajak ini mencerminkan kelemahan sistem kapitalisme dalam mengelola kekayaan negara. Banyak negara kapitalis, termasuk Indonesia, lebih mengandalkan pajak daripada mengoptimalkan sumber daya alam yang dimiliki. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa, mulai dari tambang, minyak, gas, hingga hutan, yang jika dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber pendapatan utama negara. Namun, dalam sistem kapitalisme, pengelolaan sumber daya alam sering kali diserahkan kepada swasta atau bahkan pihak asing. Hasilnya, keuntungan dari sumber daya ini tidak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat, melainkan lebih banyak menguntungkan segelintir elite ekonomi.

Sistem kapitalisme juga menciptakan ketimpangan dalam distribusi beban pajak. Sementara rakyat kecil diwajibkan membayar pajak, para pemilik modal dan perusahaan besar sering kali menikmati berbagai insentif pajak, celah hukum, atau bahkan penghindaran pajak (tax avoidance). Ketimpangan ini memperjelas bahwa sistem perpajakan kapitalisme tidak dirancang untuk keadilan, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan dan keuntungan segelintir pihak.

Islam: Solusi yang Adil dan Berkeadilan

Islam menawarkan pendekatan yang berbeda dan jauh lebih adil dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam sistem Islam, pajak (dharibah) bukanlah instrumen utama pendapatan negara. Sebaliknya, negara mengandalkan pendapatan dari Baytul Mal, yang mencakup hasil pengelolaan sumber daya alam, zakat, jizyah, fai', dan kharaj. Pajak hanya diberlakukan dalam kondisi tertentu, seperti saat terjadi krisis atau kekurangan dana di Baytul Mal, dan itu pun hanya bersifat sementara serta dibebankan kepada kalangan kaya yang memiliki kelebihan harta (aghniya').

Berikut adalah poin-poin utama yang membedakan sistem Islam dengan kapitalisme:

  • Pengelolaan Kekayaan Alam sebagai Milik Publik

Dalam Islam, sumber daya alam seperti tambang, minyak, gas, dan hutan dianggap sebagai milik publik yang harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Keuntungan dari pengelolaan ini digunakan untuk membiayai kebutuhan negara, termasuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dengan cara ini, negara tidak bergantung pada pajak untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

  • Zakat sebagai Instrumen Redistribusi Kekayaan
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline