Lihat ke Halaman Asli

Fras An

Rough Sea Makes A Good Captain

Perilaku Bullying Potret Dekadensi Moral Generasi

Diperbarui: 16 Maret 2024   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus-kasus bullying yang terjadi di kalangan remaja terutama di satuan pendidikan seakan tidak pernah sepi pemberitaan, trendnya semakin meningkat dan seolah-olah sesuatu yang lumrah terjadi, kasus bullying di kalangan remaja di Indonesia merupakan masalah yang serius dan terjadi secara meluas. 

Beberapa kasus yang terjadi dan menjadi viral antara lain, kasus bullying di Sulawesi Utara, di mana empat orang diduga terlibat dalam aksi perundungan atau bullying terhadap seorang perempuan di bawah umur. Kasus ini terjadi pada 7 Desember 2021 dan telah ditangani oleh Polres Minahasa, kasus bullying di Cilacap, di mana seorang remaja menjadi korban pemukulan brutal oleh rekan sebayanya. 

Kasus ini terjadi pada 2023 dan telah ditangani oleh pihak kepolisian. Kasus bullying di MTs Al Ma'shum, di mana seorang siswa (15) dikeroyok oleh rekannya. peristwa pembullyan tersebut banyak terjadi di lingkuan satuan pendidikan yaitu sekolah bahkan di tingkata apaling dasar, bisakita simpulkan kasus ini telah terjadi secara secara meluas dan tentu dampak yang terjadi sangatlah buruk hingga menimbulkan trauma  bagi para korban, dampak dari bullying antara lain:

  • Depresi
  • Tidak mau datang ke sekolah lagi
  • Patah tulang dan luka serius
  • Bunuh diri
  • Pendiam dan takut untuk berbicara

Dari sisi perundangn-undangan dan payung hukum, sudah terdapat pasal-pasal yang menjerat pelaku bullying antara lain Pasal 351 KUHP tentang Tindak Penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan, Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang Perundungan yang Dilakukan di Tempat Umum dan Mempermalukan Harkat Martabat. Dan disisi lain  upaya untuk mengatasi bullying, perlu ada upaya dini dan perhatian khusus dari pihak sekolah dan masyarakat. . 

Perilaku perundungan di dunia pendidikan terutama kalangan remaja mencerminkan potret yang rapuh dari mental generasi saat ini, ironinya hal ini terjadi di lingkungan pendidikan. Bukankah seharusnya suatu proses pendidikan memberikan dampak positif kepada pembentukan karakter anak. 

Pendidikan adalah sebuah proses untuk membentuk karakter dan habit serta perilaku peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang beradab. Jadi patutlah kita bertanya bagaimana bisa kasus-kasus perundungan ini dilakuakan oleh kalangan remaja yaang notabene mereka realitasnya berada dalam lingkungan sekolah yang mestinya merupakan lingkungan terdidik tempat mereka menimba ilmu pengetahuan serta adaab yang lebih baik. 

Maka dalam hal ini kita bisa menyimpulkan ternyata lingkungan sekolah bahkan menjadi tempat yang tidak aman bagi anak-anak didik, bukan menjadi tempat yang nyaman untuk belajar namun sebaliknya menimbulkan ketakutan. Beberapa faktor yang memengaruhi perundungan di kalangan remaja meliputi : faktor keluarga ; Pelaku perundungan sering kali berasal dari keluarga yang bermasalah, di mana orang tua mereka mungkin sering menghukum secara berlebihan atau situasi rumah yang penuh dengan stres dan permusuhan. Anak-anak belajar perilaku perundungan dari melihat konflik di keluarga mereka dan menirunya terhadap teman-teman mereka. Sekolah; Pihak sekolah sering kali tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap kasus perundungan, sehingga anak-anak sebagai pelaku perundungan mendapatkan penguatan terhadap perilaku intimidasi mereka. 

Lingkungan sekolah yang memberikan masukan negatif dan hukuman yang tidak membangun juga dapat memperburuk situasi. Faktor Kelompok Sebaya; anak-anak terdorong untuk melakukan perundungan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa mereka dapat masuk ke dalam kelompok tertentu, bahkan jika itu berarti melakukan tindakan agresif terhadap teman sebayanya. 

Toksisitas Maskulinitas; konstruksi sosial terkait gender, terutama dalam konteks maskulinitas, juga dapat menjadi akar masalah perundungan di kalangan remaja. Budaya yang mempromosikan gagasan bahwa kekerasan adalah simbol kejantanan dapat mendorong pelaku perundungan untuk menggunakan kekerasan fisik atau verbal untuk menegaskan kekuasaan mereka. Dengan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor ini, langkah-langkah preventif yang tepat dapat diambil untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua remaja.
Namun akar masalah yang sesungguhnya atas faktor-faktor yang berdampak pada peningkatan peristiwa perundungan di satuan khususnya dan di kalangan remaja padaa umumnya dalaam kehidupan soaial mereka adalah  kehidupan yang berasas pada sekularisme, hal inipun berlakau dalam dunia pendidikan.  Paradigma pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari praktik kehidupan membuat remaja sebagai generasi muda jauh dari gambaran bagaimana mestinya standar moral dan norma-norma itu diterapkan sesuai dengan ajaran agaama. Pendidikan sekuler secara tanpa dosadarai membentuk mereka menjadi karakter yang permisif termasuk dalam perilaku kekerasan, kebebasan berekspresi dan berperilaku jadi acuan mereka melakukan peristiwa perundungan.                                                                                                                                                                                                                                                       Lalu bagaimana Islam memandang fenomena ini. Perundungan di kalangan remaja dari perspektif ajaran Islam dapat dilihat sebagai perilaku yang tidak diizinkan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dihargai dalam agama. Islam menekankan kepedulian dan kasih sayang terhadap sesama manusia, sehingga perilaku yang merugikan dan menyakitkan orang lain, seperti perundungan, tidak diizinkan.Perundungan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kekurangan pendidikan, kekurangan perhatian dari pihak orang tua, dan kekurangan pengawasan dari pihak pendidikan. Untuk mencegah perundungan, perlu ada upaya yang terintegrasi dan terkoordinasi dari pihak pendidikan, keluarga, dan masyarakat dan tentunya negara sebagai instrumen tertinggi  sebagai penguasa yang mengatur segala urusan dan pemangku kebijakan. 

Negara idealnya mampu membuat regulasi yang secara komprhensif dan holistik mamapu mencegah dan mengatasi peristiwa perundungan. Pihak pendidikan dapat mengimplementasikan program anti-bullying dan mengadakan diskusi terbuka dengan siswa mengenai perundungan. Keluarga dapat memperhatikan perilaku anak-anak mereka dan memberikan dukungan dan bimbingan yang tepat. Masyarakat dapat membantu mengurangi stigma terhadap korban bullying dan memaksimalkan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan perundungan.

Dalam hal ini, ajaran Islam menekankan perlakuan yang baik dan adab kepada sesama manusia, sehingga perilaku yang merugikan dan menyakitkan orang lain, seperti perundungan, tidak diizinkan. Kasus-kasus perundungan sesungguhnya bukan fenomena yang berdiri sendiri, ia terkait dengan sistem pendidikan, sosial; yang dibangun oleh negara memalui kebijakan dan aturan kehidupannya. Maka dalam islam negara akan betul-betul mengarahkan pendidikaananya untuk membentuk karakter peserta didiknya agar taat beragama, mengerti adab dan faham bahwa perundungaan adalaah hal yang tercela. Negarapun menjadi payung hukum yang tegas dan adil ketika terjadi kasus-kasus perundungan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline