1.Pemikiran Al-Farabi
Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan accident. Hal ini berarti bahwa keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Menurut Al-Farabi jiwa manusia disebut an-nafs al nathiqah yakni berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq berbentuk, berupa, dan berkadar. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya. Manusia memiliki 3 daya, yang pertama daya gerak yang meliputi makan, memelihara, dan berkembang. Daya yang kedua adalah daya mengetahui, yaitu merasa dan imajinasi. Kemudian daya yang terakhir adalah daya berpikir yang meliputi akal praktis dan alam teoritis.
Pemikiran Al-Farabi ini juga diwarnai oleh pemikiran filsuf Yunani terutama Plato dan Aristoteles. Al-Farabi mengatakan, jiwa adalah “kesempurnaan pertama bagi jisim (tubuh) alami yang organis yang memiliki kehidupan dalam bentuk potensial”. Al-Farabi lebih menyukai konsep Plato yang menganut paham keabadian jiwa di samping kesesuaiannya dengan ajaran agama Islam.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan jiwa menjadi dua, yakni jiwa khalidah dan fana’. Jiwa khalidah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan. Jiwa fana’ adalah jiwa jahilah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi. Ia akan hancur bersamaan dengan hancurnya badan.
2.Ibnu Sina
Kecintaan Ibnu Sina di bidang falsafah juga membuatnya mendalami falsafah dengan sangat kesunnguhan selama dua tahun, bahkan ia pernah membaca bukumetafisika karangan Aristoteles sebanyak empat puluh kali walaupun sangat sulit memahaminya. Kemudian dia baru baru memahami buku metafisika karangan Aristoteles setelah membaca tulisan Al-Farabi.
Teori tentang akalnya selanjutnya membawa pada munculnya falsafah wahyu dan nabi. Ia mengatakan bahwa akal memilki beberapa tingkatan, yang terendah adalah akal meteriil, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Tuhan juga akan menganugrahkan akal materiil yang lebih pada manusia. Ibnu Sina menyebutnya intuisi.
Beliau juga memiliki filsafat tentang manusia. Beliau juga menyatakan bahwa manusia itu mempunyai dua unsure, yakni jasad dan jiwa. Jasad merupakan kelengkapan jiwa untuk melakukan aktivitas. Jasad selalu berubah, berganti, berkurang, maupun bertambah, jadi jasad bisa mengalami kefanaan. Perhatian para filsuf Islam lebih terfokus pada jiwa dari pada jasadnya. Ibnu Sina juga berpendapat bahwa alam sudah ada sejak zaman azalikarena ia terjadi dengan sebab Allah memikirkan dzat-Nya sendiri.
3.Muhammad Iqbal
Iqbal berpendapat, amal manusia penting bagi upaya aktualisasi diri. Diri manusia itu bukan merupakan satu kesatuan hidup yang telah sempurna. Watak manusiaadalah perjuangan untuk mecapai kesatuan yang lebih inklusif, efektif, seimbang, dan unik. Diri manusia penuh dengan potensi yang tidak akan terkuras habis. Menurut iqbal pusat kehidupan kemanusiaan dan sumber eksistensi manusia adalah diri. Tingkat intensitas dan kelemahan khudi (rahasia-rahasia diri) dalam diri setiap insane menentukan kekuatan dan kelemahan seseorang atau suatu bangsa. Semakin penuh kesadaran dirinya, maka semakin tinggi cita-citanya, semakin kuat kehendak dan semangat bangsa tersebut untuk mencapai cita-citanya dan tidak akan menyerah pada cita-cita bangsa lain.
Khudi dalam bahasa sederhana juga bisa diartikan pusat kesadaran. Kenyataan ini membuat manusia dipandang sebagai makhluk kerohanian. Iqbal juga mengutip hadits riwayat Muslim dan Bukhori, “seseorang yang merealisasikan martabatnya sebagai khalifah Tuhan di bumi tidak akan dapat dikalahkan oleh siapapu”. Menurut Iqbal, khudi atau Diri dapat tumbuh dan menjadi teguh apabila diperkuat oleh Cinta (‘isyq).
Cinta dalam falsafah Iqbal juga diartikan sebagai iman dan juga intuisi intelektual. Dalam pengertian demikian, cinta adalah metode atau cara untuk memperoleh pengetahuan di luar jalan yang rasional dan empiris, tetapi melalui ilaham profetik atau visi kerohanian yang terang. Manusia dapat merealisasikan dirinya bukan semata-mata melalui ilmu pengetahuan melainkan juga melalui cinta. Pengetahuan intuitif juga disebut cinta dan cinta itu dibangun oleh seseorang muslim yang memperbanyak ibadah dan amal saleh.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aktualisasi diri membutuhkan proses yang mengarahkan setiap manusia bisa mewujudkan potensi dari dalam dirinya asalkan bersifat positif dan dilandasi oleh cinta dan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H