Lihat ke Halaman Asli

Pulau Makasar (Baubau) Bukan Makassar (Sulsel)

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1303133441589217048

Nama Makassar begitu populer, ada Kampung Makassar di Cape Town Afrika Selatan, Makassar di Madagaskar, bahkan di Indonesia nama kampung Makassar begitu menggurita, pertanda hegemoni Makassar begitu besar di masa lalu. Di Kota Baubau, tak terkecuali, ada sebuah Pulau juga berlabel Makassar, namanya Pulau Makasar (tidak double S)…banyak cerita tersimpan di pulau nan cantik ini.. Teringat ketika Perayaan Festival Perairan Pulau Makasar Tahun 2010.. Bapak Drs. H.MZ. Amirul Tamim selaku Walikota Baubau pada acara pembukaan Festival tersebut berkata bahwa.. " Kita sebagai warga Kota Baubau, sangat patut berbangga memiliki Pulau yang bernama Pulau Makasar, karena di Makassar (Sulsel) tidak memiliki Pulau yang bernama Pulau Baubau".

1303133921708407137

Umur Pulau Makasar diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Ini dapat dilihat dari prasasti Makam Sultan Buton VIII Mardan Ali atau Oputa Yi Gogoli yang terdapat di pulau seluas kurang lebih 10 KM2 tersebut, antara tahun 1647 – 1654. Atau dapat pula dikaitkan dalam sejarah Kerajaan Buton yang ditulis A Ligtvoet tahun 1887 yang menyiratkan asal-usul nama Pulau Makasar. Disebutkan, pada tahun 1666 Gowa mengirim armada berkekuatan 20.000 personel untuk menggempur Buton yang dianggap melindungi Aru Palakka, pemberontak terhadap kekuasaan Raja Gowa. Aru Palakka adalah putra bangsawan Bone, melarikan diri ke Buton pada tahun 1660 diterima baik oleh Sultan Buton sehingga kemudian melahirkan ikrar kerjasama antara Buton dan Bone bahwa Buton adalah Bone Timur dan Bone adalah Buton Barat. Konon, waktu ke Buton, Aru Palakka ikut membawa putri Raja Gowa bernama Daeng Talele yang telah diperistri. Pada akhir tahun 1666, Batavia mengirim pasukan ke Makassar lalu bergerak ke Buton yang sedang digempur oleh pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Pasukan kompeni itu dipimpin Admiral Cornelis Speelman berkekuatan 500 orang Belanda dan 300 bumiputra, diantaranya termasuk Aru Palakka. Pasukan Bonto Marannu pun kalah atas strategi militer dan persenjataan kompeni yang lebih modern. Sekitar 5.500 orangnya ditawan di sebuah pulau kecil di perairan Teluk Baubau. Pulau itu oleh orang Buton disebut Liwuto. Liwuto artinya pulau. Namun tawanan perang tersebut kemudian dilepas oleh Sultan Buton setelah pasukan Belanda meninggalkan Buton, pergi ke Ternate. Menurut Ligtvoet, pelepasan itu dilakukan setelah pimpinan pasukan Gowa membayar tebusan. Setelah peristiwa itu, Liwuto lebih dikenal dengan sebutan Pulau Makasar. Ikhwal penamaan Pulau Makasar itu, saat ini berkembang banyak versi. Pertama, karena di sanalah tempat para hulubalang dan pendamping Arung Palakka diberi tempat bermukim oleh Sultan Buton karena enggan lagi kembali ke tanah Bugis. Versi lain menyatakan, pulau seluas 104 kilometer persegi itu diberi nama serupa ibukota Sulawesi Selatan karena di sanalah para pasukan Sultan Hasanuddin diberi wilayah permukiman. Sepasukan prajurit itu enggan pulang ke Gowa lantaran gagal menemukan buronan nomor satu Gowa, Arung Palakka. Apalagi jika mereka gagal, berarti hukuman menanti dari raja. Sementara versi lain mengklaim bahwa pulau yang diapit Pulau Buton dan Pulau Muna itu dulunya adalah tempat menawan 5.500 pasukan Bontomarannu yang ditangkap oleh pasukan Kompeni-Arung Palakka yang didatangkan dari Batavia ketika Gowa menyerang Buton pada 1666. Kemudian dalam perkembangannya lagi, tahun 1980-an, orang lebih populer menyebutnya Puma, singkatan dari Pulau Makasar. Walau nama Liwuto tetap diabadikan sebagai nama kelurahan di bagian timur pulau tersebut (Kelurahan Liwuto). Di Kelurahan Liwuto, terdapat satu kampung bernama Bone. Entah ada kaitannya dengan nama Bone di Sulsel atau tidak, yang terang bahwa bone dalam bahasa lokal berarti pasir. Perjalanan dari Kota Baubau ke Puma tidak sampai setengah jam menumpangi ojek laut “jarangka” atau perahu mesin tempel. Sepanjang perjalanan kita dapat menyaksikan birunya laut yang masih relatif bersih. Sesekali kita melihat ikan melompat memperlihatkan kepalanya di atas permukaan air laut. Di Puma kita dapat menjumpai sejumlah tempat wisata yang oleh masyarakat setempat sendiri tidak menyadarinya sebagai tempat wisata. Diantaranya makam Sultan Buton VIII Mardan Ali, terletak di depan kantor Keluarahan Liwuto. Di Puma ada dua kelurahan yakni Kelurahan Liwuto dan Kelurahan Sukanayo. Awalnya dua kelurahan tersebut masuk dalam Kecamatan Wolio yang berkedudukan di jantung Kota Baubau. Sama halnya dengan Kelurahan Tomba dan Kelurahan Wale. Secara histories, Puma pernah menjadi pusat distrik (pemerintahan). Kampung-kampung (sekarang kelurahan) dekat Puma, seperti Lowulowu dan Kalialia masuk dalam satu distrik yang dipimpin La Samahu (almarhum). “Waktu itu, bila orang Lowulowu dan Kalialia hendak bepergian, mereka datang mengurus pas jalan di Puma,” jelas Idien, pensiunan pegawai (PNS) Kelurahan Liwuto. Selain menjumpai makam Sultan Buton VIII, di Puma juga kita masih mendapatkan sejumlah tempat bersejarah lainnya seperti Goa Keramat atau “Liana Binte” yang terletak di lingkungan Tanjung Batu, ujung Puma bagian Selatan yang berhadapan langsung dengan Kota Baubau. Goa tersebut sejak puluhan tahun ini ditutup dengan batu besar. Konon, oleh orang-orang tua dahulu menjadikan goa itu sebagai tempat bertapa untuk mendapatkan ilmu sakti. Tidak jauh dari goa terdapat tebing tinggi yang cukup strategis dibangun industri pariwisata bidang perhotelan. Di atas tebing berketinggian itu sangat fantastis jika dibangun hotel berbintang. Dari tebing itu Kota Baubau rasanya bisa digenggam. Pasir Baana Bungi memang bagus untuk bahan bangunan sebab butirannya agak kasar. Berbeda dengan pasir putih yang ada di dua Kabungi-bungi lainnya yang cukup halus butirannya. Dapat diibaratkan seperti butiran tepung terigu. Di Puma juga kita dapat menjumpai hasil kerajinan pertukangan kayu, mulai lemari, ranjang hingga perabotan lain yang terbuat dari kayu jati. Tukang kayu di Puma tergolong terampil, bahkan mereka mengerjakan rumah hingga di Kota Baubau dan Kendari. Walaupun secara administratif Puma masuk dalam wilayah Kota Baubau, nuansa alaminya masih sangat kental. Keheningan tanpa hiruk-pikuk kendaraan bermotor menjadi nuansa yang amat dominant. Hanya terdapat belasan sepeda motor, tidak ada mobil. Di daratan Puma belum ada jalan raya, kecuali garis-garis jalan setapak yang membelah blok-blok perkampungan penduduk. Sebagian jalan setapak itu telah dikeraskan dengan semen melalui proyek pengembangan kecamatan, dan sebagian lagi masih jalan tanah.

13031364911607516932

Kini nama Pulau Makasar makin mendunia dengan dilaksanakannnya ajang wisata tahunan dengan tajuk Festival Perairan Pulau Makasar, sebagai bagian dari Visit Indonesian Years. (Oleh ; Hamzah dan M.Jufri Rahim, dari berbagai sumber) Nice trip 18/04/2011, thanks to; Dian Fardirana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline