Lihat ke Halaman Asli

Ana Dwi Itsna Pebriana

Read, Write, Proofread

Bermaaf-maafan, Bagian dari Formalitas Lebaran(?)

Diperbarui: 8 Juni 2019   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dogruhaber.com.tr

Tak terasa, Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita dengan segala haru kesedihan. Mengantarkan pada sebuah perayaan yang amat dinantikan. Idulfitri, menjadi perayaan terbesar dalam peringatan hari-hari Islam yang selalu disambut dengan penuh kesyukuran.

Di Indonesia, selain Idulfitri, istilah Lebaran juga menjadi akrab di telinga kita. Namun, istilah ini sebenarnya bukan berasal dari bahasa Arab. Sebagian orang mengatakan bahwa kata lebaran berasal dari bahasa Jawa ngoko yakni kata lebar/wes bar/wes bubar yang memiliki arti selesai melaksanakan ibadah puasa.

Idulfitri atau Lebaran merupakan rekonsiliasi masif dan massal yang menciptakan suasana tenteram dan akrab di masyarakat. Tidak hanya bersifat teologis, dalam perayaan ini juga terdapat fenomena yang menjadi tradisi khas di Indonesia. Tradisi bermaaf-maafan atau sering juga kita sebut dengan halalbihalal.

Fenomena ini amat langka bila dilakukan pada hari-hari biasa, tapi sangat ramai dipraktikkan ketika hari raya tiba. Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia memasukkan kata halalbihalal sebagai salah satu lema. Namun, yang membuat heran adalah mengapa kita cenderung mudah meminta dan memberi maaf pada saat Lebaran dibanding hari-hari lainnya?

Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fen Jiang dan tim peneliti dari Central University of Finance and Economics Beijing China. Mereka meminta para partisipan untuk memikirkan kemungkinan memberi maaf kepada pelaku kejahatan. Para peneliti membuat beberapa skenario pembunuhan dan menanyakan kepada partisipan apakah mereka akan memberikan maaf kepada para pelaku atau tidak.

Sebelum menganalisis hasilnya, Feng Jian dan tim membagi partisipan menjadi dua kelompok besar berdasarkan suasana hatinya. Kelompok pertama adalah mereka yang sedang merasa bahagia pada saat itu. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang cenderung merasa datar atau bahkan tidak berada pada suasana hati yang bahagia.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa tendensi untuk memaafkan lebih mudah dilakukan oleh para partisipan yang suasana hatinya sedang baik atau bahagia. Ini menunjukkan bahwa dalam situasi sehari-hari pun, keputusan untuk meminta bahkan memberi maaf sangat tergantung dari disposisi individual, termasuk suasana hati yang tengah dirasakan. (theconversation.com,04/06/19)

Tradisi bermaaf-maafan menambah suasana Idulfitri menjadi amat istimewa. Membuat jalinan silaturahmi terus terjaga. Menciptakan suasana yang sejuk dan damai. Merekatkan kembali hubungan persaudaraan yang sempat tercerai-berai.

Allah pun sudah jauh-jauh hari, sebelum kita dilahirkan ke bumi, menegaskan akan hal ini dalam firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang belum mengerti. (QS Al-'Araf: 199)

Dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa seorang muslim hendaknya menjadi pribadi pemaaf, melakukan hal tersebut sebagai aktivitas dan penghias diri. Jangan memilih untuk menjadi lawannya, yaitu mudah membenci dan sulit memberi maaf.

Namun, yang menjadi kekhawatiran ialah bila momen bermaaf-maafan ini hanya dijadikan sebagai ajang formalitas untuk mengikuti tradisi semata. Sekadar ikut-ikutan. Sekadar turut meramaikan tanpa ada niat yang tulus untuk melapangkan hati dari berbagai kesalahan yang pernah orang lain torehkan. Atau jangan-jangan kita hanya latah menirukan orang lain yang meminta maaf. Lisan mengucap, tatapan bertemu, tapi hati masih menggerutu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline