Lihat ke Halaman Asli

Ana Widyaningrum

Full time writer

Nasihat Bapak

Diperbarui: 19 November 2024   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Duduk di samping Bapak yang terbaring di atas kasur tipis dan dipan kayu yang telah reyot itu, berhasil membuat memori masa kecilku berlompatan dalam pikiran. Berdiam di tempat yang penuh dengan sejarah ini, membuat alam bawah sadarku kembali mengingat satu per satu nasihat kehidupan yang pernah Bapak berikan padaku dan adikku.

Tentang kehidupan yang sejatinya hanya menjadi tempat  persinggahan. Tentang anjuran untuk selalu berbuat baik pada orang lain. Dan tentang semangatnya untuk terus mendorong anak-anaknya berprofesi menjadi seorang guru. Karena hingga detik ini, di tengah segala carut marut dunia, dan kerusakan fungsi otaknya, pandangannya terhadap profesi guru tetaplah sama. Menurutnya, guru adalah manusia yang paling mulia, selain para Nabi tentu saja.

Aku mengembuskan napas panjang, sedikit terenyuh menyaksikan kondisi Bapak yang dulu selalu kuanggap kuat dan menjadi andalan kami, keluarganya. Kini Bapak hanya bisa terbaring lemah di atas dipan reyotnya. Dilihat dari gelisahnya, Bapak tampaknya tak pernah  bisa merasakan nikmatnya tidur dengan nyenyak, sejak penyakit strok yang menyerangnya, semakin hari menjadi semakin merusak fungsi beberapa organ tubuhnya.

 Pandanganku kemudian menyapu ke segala penjuru kamar Bapak yang beraroma pengap dengan penerangan yang suram dari lampu berwarna kuning yang terpasang di dekat lemari tua penuh dengan coretan masa kecil kedua anaknya. Sebagai seorang yang sederhana, tentu saja tak ada perubahan yang signifikan di dalam kamar Bapak, selain jadi jauh lebih berantakan. Tentu saja hal ini sangat wajar, karena kini tak ada lagi Ibu yang selalu mengomel padanya tentang pentingnya mengusahakan setiap sudut rumah selalu rapi.

Lemari dan meja belajar kayu yang kini berwarna semakin pudar, dengan debu yang semakin tebal itu tetap pada posisinya, di samping pintu dengan berbagai macam stiker hasil tangan-tangan kreatif kedua anaknya. Cermin yang menjadi satu dengan lemari tua, tertempel di salah satu daun pintunya, yang menjadi satu-satunya cermin di rumah ini, kondisinya juga tampak sama terenyuhnya dengan sang empunya.

Suara Bapak yang tak jelas, memecah lamunanku. Ternyata Bapak kembali membuka matanya untuk ke sekian kalinya. Aku mencoba mendekatkan wajahku padanya, berusaha keras memahami kata-katanya yang semakin tak jelas karena berkurangnya fungsi otot wajahnya hingga membuatnya sulit berbicara.

"Bapak ingin aku ambilkan air?" tanyaku ragu.

Ia menggeleng. Aku bisa melihat setetes air yang tampak merebak dari ujung matanya. Seketika aku dilanda rasa bersalah yang amat besar, persis pada saat Bapak mengetahui kenakalanku yang sering membolos mengaji demi bisa bermain di lapangan bersama teman-teman.

"Bapak ingin Mas Rian pulang saja," seru Rina, adikku yang membaktikan hidupnya untuk mengurus Bapak.

Seketika aku menoleh ke arahnya, berusaha menepis kesan negatif yang entah mengapa selalu muncul saat  ia berbicara.

"Bapak nggak ingin mengganggu kesibukanmu di sekolah," tambahnya dengan nada yang semakin tak enak didengar di telinga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline