Menginjak masa remaja di bangku SMP, bersama saling memahami namun hanya sekedar batas tembok yang selesai tanpa kejelasan masalah, yang dirasakan. Sehingga gundukkan kerikil terus menjalar keatas hingga tak usai, dan hanya dengan pengakuan yang lebih jujur dapat meringkan dosa yang di rasakan.
Entah kenapa berat hati menyampaikan sebenarnya dengan mengangkat ponsel memandang layar, berpikir mengatur kata, "sorry kalau aku ganggu waktu kamu yang sibuk, aku rasa aku harus jujur dengan apa yang aku rasakan sekarang. Aku tau aku khilaf dengan Tindakan yang tidak sewajarnya, namun semoga kedepannya tidak akan aku ulangi lagi."
Pesan terkirim tak disadarkan ponsel itu terlempar di Kasur dengan jarak jauh, empat jam berlalu tidak ingin dinanti namun hanya saja lamunan itu terus berkutik dalam lamunan memandang langit dinding. Terdengar getaran notif ponsel hanya ada centang berwarna biru saja, sayang sekali rasa maaf dan kesalahan hanya menjadi angin lewat tanpa memahami jati diri yang sedang diri ini susun.
Kembali dari ke khilafan manusia yang tak sempurna. Hanya saja cerita itu menjadi sampah saja yang tidak ingin diingat dan dibuang saja agar tidak dipikirkan Kembali.
Maaf sekali buat kau dalam pesan yang sampaikan dalam ilusi ku terhadap sampah itu menjadikan pelampiasan diri, semoga saja kau sadarkan diri dengan keangkuhan itu.
Selang dua hari berlalu hanya aja sautan nama "nia" sudah itu saja, lalu respon pembicaraan dalam ruang ketik dijawab sepuluh menit berlalu karena di sengaja oleh diri dalam hati agar tidak menterbiasakan untuk berkontak dengan kamu (kontak dan orang sama) karena sebenarnya dua tahun aku sendiri sudah muak.
Jawaban diruang ketik aku sampaikan "ada apa?" sautannya cukup cekat "mau minta contoh dokumen surat ijin, ada gak kamu?" dengan baik hati tidak lama aku kirimkan dokumen itu.
Tetapi rasa hati selalu saja ada rasa jengkel dengan permintaannya yang kadang kurang sopan, walau kadang kala ada sopan yang diselipkan dari pesan yang di sampaikan. Hanya saja kiriman dokumen itu di sertai dengan "okeh makasih ya" . sudah cukup pesan itu di akhir dan hati Kembali tenang tidak memikirkan kejengkelan pesan tersebut.
Sewaktu tiap kali menyampaikan pesan melalui ponsel sembari berbaring dan memandang langit dinding rasanya ingin pergi dari dunia kenyataan.
Tapi realita itu harus dihadapi dengan berbagai karakter dan sifat manusia yang begitu unik. Serta dalam pikiran ilusi banyak mempertanyakan kepada jiwa diri "akankah hati ini dapat teguh untuk melewati semua rintangan yang sulit? akankah aku bisa memahami orang-orang diluar sana?" dan masih banyak pertanyaan itu sehingga keputusan itu kadang tidak pernah selaras.
Wajar saja karena diri ini hanya manusia yang tidak sempurna tapi setidaknya jiwa ini bisa tau mana yang baik dan tidak. Entah tidak tau jalan kedepan nanati akan bersapa seperti apa walaupun secara pesan saja sudah terasa ada perbedaan yang dirasakan, padahal jarak itu jauh dari keberadaan.
Semoga saja tidak menjadi gagu seperti orang tidak tau arah dan belengu bagaikan patung terpojok. Semasa bersama yang dilalui pasti ada saja salah paham yang tidak dapat diungkapkan namun di hati ini rasanya mengenali rasa salah itu, mengetahui insting ketidakjelasan yang hanya menjadi cuitin sampah dari orang lain serta menjadikan cemooh di media.
Jujur saja terasa tidak jelas untuk bisa memahami tapi pandangan diri ini rasanya bisa dimaafkan dengan mengakui,memahami, dan ingin dimengerti. Seperti itu garis kesimpulan diri yang mungkin terbilang egois dan tidak etis sebagai manusia yang sosialis melainkan individualis.
Pribadi diri dan jati diri Sudah mengarungi arah yang berbalik Haluan tiga ratus derajat menuju yang baik untuk dapat memahami manusia yang etis. Mengapa demikian karena wajar saja diri ini hanya manusia yang tidak sempurna namun mencoba untuk belajar memahami.
Rasa hati merasakan bersyukur karena selalu disekelilingi orang yang baik dan ingin terus belajar untuk memahami. Mengetahui rasa ini sebenarnya menjadikan pengalaman yang pernah dilalui dari lingkungan yang kadang meremehkan jiwa diri ini.
Tidak tau akankah hati orang lain dan dirinya sendiri akan hal sikap,sifat,dan perilakulah yang menjadikan pribadi ini mengenal lebih dekat dengan orang yang selalu bersamanya.
Hingga ada waktu untuk melepas dan hanya menyapa sekejap melalui goresan senyuman. Cukup jelaskah perih hati ini dilalui seorang diri dan jati diri ini untuk memahami dirimu masa lalu dan yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H