Sebagaimana diketahui ibadah puasa ramadhan yang rutin dilaksanakan tiap tahun ini, senantiasa memiliki warna atau ciri tersendiri - yang membuatnya berbeda dengan bulan-bulan lain. Ghiroh ummat terasa lebih terbakar dengan hadirnya ramadhan. Indikasinya tidak hanya nampak pada masyarakat kota, namun juga ke seluruh pelosok desa. Bahkan lebih jauhnya – khusus Indonesia – spirit ramadhan ini, tidak hanya dirasakan oleh ummat muslim itu sendiri, melainkan juga penganut agama lain. Sebagai contoh, tradisi mudik atau pulang kampung ternyata tidak mutlak milik orang Islam di penghujung Ramadhan. Penganut non muslim pun turut meramaikan tradisi ini dengan pulang kekampung dan berkumpul bersama sanak kerabatnya. Dalam hal ini, ibadah puasa Ramadhan berkait erat dengan konteks budaya Indonesia; momentum yang hanya terjadi satu tahun sekali, berlaku dan menjadi milik universal masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena dalam bulan ini, yang menonjol bukan hanya aspek-aspek yang berkaitan dengan prosesi puasa Ramadhan, namun bersinggung erat dengan budaya setempat, dalam hal ini budaya Indonesia.
Maka melihat puasa Ramadhan di Indonesia, tidak cukup didekati melalui pandangan keagamaan saja, juga diperlukan pendekatan lain semisal kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan pun, perlu dipilah kembali kedalam satuan yang lebih kecil - budaya jawa, minang, batak dan seterusnya – dimana dari pengelompokan kebudayaan tersebut memantulkan sederet prilaku keberagamaan yang berbeda. Dengan demikian penilaiannya akan lebih kaya sehingga menghasilkan nilai sempurna ketika hendak mengukur dampak atau implikasi pasca ibadah ramadhan. Kita tentunya tidak dapat memukul rata kejadian yang umum menjadi spesifik, sebab akan menimbulkan kerancuan ketika dihadapkan pada hal-hal yang memerlukan penjelasan data konkret yang terjadi pada pokok masalah. Semisal, dalam kasus garis keturunan matrilineal akan menilai dan mendekati permasalahan dari sudut keibuan. Sebut saja dalam urusan tempat halal bihalal. Dalam keluarga Matrilineal, hampir dipastikan ‘ngumpul’ idul fitri di pihak keluarga istri daripada laki-laki. Nah, Apakah hal ini berlaku pada masyarakat budaya lainnya…? Tentu saja tidak. Dalam garis keluarga lelaki, pusat komando terletak pada kerabat lelaki. Dengan demikian jelas, melihat momentum ramadhan di Indonesia erat halnya dengan kebudayaan. Hal apapun yang terkait dengannya; perayaan, prosesi, bahkan ritualnya diwarnai oleh kultur yang berasal dari native of culture nya.
Pembaruan Jati Diri
Sebagai kawah candradimuka, ramadhan diharapkan mampu membawa misi merubah prilaku manusia dari yang tidak baik menuju yang baik, sekaligus mempertahankan apa yang sudah baik di tahun sebelumnya bagi bekal di tahun mendatang. Dengan kata lain, ada pembaruan jati diri; sebuah proses dalam mengolah diri agar memiliki hati dan diri yang bersih melalui kegiatan baik itu yang bersifat material maupun immaterial. Proses ini dilakukan melalui serangkaian aktivitas ibadah vertical terlebih horizontal yang memang menjadi titik tekan ‘misi’ ramadhan. Namun misi luhur tersebut sedikit berbalik rupa ketika dihadapkan pada implikasi pasca ramadhan. Yang hadir adalah sederet manusia-manusia berprilaku ‘hamba’ materi dan mengejar kesenangan. Seolah terbebas dari kungkungan penjara. Apa yang salah…?
Para ahli menyebut kejanggalan ini sebagai tajarrud. Istilah ini lazimnya dipakai oleh para sufi; prosesi mencapai kesalehan melalui perantaraan material. Suka atau tidak suka, ibadah ramadhan disamping meriyadhah diri dengan sesuatu yang immateri, juga menantang diri dengan perantaraan material. Zakat Fitrah sebagai salah satu momentum menumbuhkan ekonomi ummat, emphatic dan latihan gotong royong warga mampu bagi masyarakat tidak mampu, diwujudkan melalui pemberian material. Wujud yang material ini dilakukan sebagai bentuk keikhlasan diri atas rezeki yang sudah diperoleh, dan diberikan atas nama kemanusiaan, menolong sesame dan menumbuhkan kesadaran zakat bagi bulan-bulan berikutnya. Wujud material ini berimplikasi pada sifat immateri berupa ‘kesadaran’ itu sendiri. Inilah yang dinamakan sebagai tajarrud.
Namun kenyataannya bisa saja berbeda, pembaruan jati diri hanya menyentuh wilayah eksoterik dan temporer, tidak tahan lama. Satu dua hari pasca ramadhan tabiat kembali kesemula, bahkan muncul sikap ‘riya’ dan ingin diperhatikan. Hal ini terjadi oleh karena pemahaman tajarrud nya baru sebatas pemuasan hasrat, memiliki sesuatu. Riyadhah batiniahnya tidak tersentuh sama sekali. Contohnya terlihat ketika memasuki sepuluh hari terakhir ramadhan. Di penghujung ‘latihan’ ini ghiroh yang semula ‘terbakar’ mulai mereda berganti sederet aktivitas mengumpulkan sebanyak-banyaknya sandang pangan dan papan menjelang Idul fitri. Momentum lailatul qadr pun kalah gaung dengan berkumpulnya jutaan manusia di pusat-pusat perbelanjaan. Saat-saat agung pembebasan dosa ini berganti rupa menjadi ajang ‘festival’, dimana masyarakat sibuk mengurusi dirinya; pakaian, makanan, rumah bahkan mobil dengan terselip unsure riya, pamer dan ingin dipuji. Artinya hati telah disisipi perasaan senang atas kepemilikan material.
Esensi Puasa
Esensi puasa sebenarnya adalah pelatihan memunculkan sikap empati terhadap sesama. Wujud nyatanya terlihat ketika hati tergerak untuk mengulurkan tangan bagi sesama. Sikap-sikap yang berkebalikan dari itu selaiknya hilang pasca latihan sebulan. Oleh sebab itu dalam menyambut bulan mulia ramadhan, yang tinggal beberapa hari lagi, perlu bagi kita untuk meninjau kembali sejauh mana orientasi kita, sekuat apa keteguhan hati kita dan sedalam apa niat kita untuk berubah dan melakukan pembaruan kejatidirian. Membuang dan mengubur keburukan di masa lalu, mempelajari kesalahannya untuk kemudian dijadikan bekal perbaikan di kemudian hari. Pun demikian dengan sikap dan cara pandang kita terhadap lingkungan sekitar. Adakah partisipasi nyata kita bagi perbaikan nasib sesame..?
Tradisi mudik, halal bihalal dan sederet wujud prilaku ramadhan ala Indonesia lainnya merupakan kekayaan budaya yang melekat. Ia ada seiring dengan tumbuhnya ghiroh ibadah puasa itu sendiri. Rutinitas dan gaya hidup perkotaan yang cenderung keras, menyita energy dan menguras keringat bisa saja ditularkan kepada kerabat dan keluarga di desa melalui penanaman semangat kemandirian, bekerja keras, persistensi dan semangat pantang menyerah. Proses silang kebudayaan ini bukan tidak mungkin terjadi. Transformasi menjadi kata kuncinya. Namun apalah artinya jika dalam proses tersebut hanya menularkan virus buruk dan waham kebesaran semu; materialisasi, riya, memakan sesame dan pragmatism buta sebagaimana sebagian orang kota melakukannya. Tentunya jauh dari keinginan ketika pulang ke desa, yang kemudian menjadi pertanyaan awal kerabat di kampung adalah ‘berapa kijang yang dipunya…?’ Alih-alih membawa perubahan dan kebaikan tajarrud di desa, malah menularkan pandangan sebaliknya, material, eksoteris dan egoism.
wallahu a'lam
Petukangan, 25 Aug 2011