Lihat ke Halaman Asli

Amba Sumujud

Freelance

Pergaulan Campur, Akhirnya Kawinnya Campur

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena kawin campur (beda agama)menjadi bahan pembicaraan ketika September 2014 yang lalu lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan Judicial Review Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan perkawinan beda agama tidak sah(sumber di sini). Ada suatu ungkapan menggelitik bahwa perkawinan campur itu tida akan terjadi begitu saja. Ia pasti dimulai dari aktivitas yang namanya pergaulan campur. Tjahjanto ( 2014) menyebutkan bahwa perkawinan campur tentu dimulai dari pergaulan campur, persahabatan campur, pacaran campur, dan akhirnya menjadi perkawinan campur.

Bagaimana trend kawin campur ini? Ada data yang menunjukkan bahwa di Dekanat (semacam pembagian wilayah dalam komunitas agama Katolik) Jakarta Selatan dan Keuskupan Bogor persentasenya hampir sama, yaitu mencapai 35% . Konon ini termasuk paling tinggi di Asia (Tjahjanto, 2014). Gereja Katolik mengambil sikap untuk tidak melarang dan juga tidak menganjurkan adanya pernikahan beda agama. Alhasil, memang dimungkinkan terjadi peristiwa perkawinan campur di lingkungan gereja Katolik.

Apakah pergaulan campur dianggap biang keladi terjadinya kawin campur? Rasanya tidak juga karena tidak setiap pergaulan campur akan berujung pada perkawinan campur. Melihat perjalanan tahap relasi sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, sepertinya intervensi (campur tangan untuk memutuskan) bisa terjadi saat akan melangkah ke tahap persahabatan campur dan pacaran campur. Intervensi pada tahap ini sepertinya lebih mudah dilakukan dibandingkan perpindahan dari tahap pacaran campur ke perkawinan campur.

Dalam pacaran, baik campur maupun tidak campur, keterikatan emosi sudah sangat kuat sebagai konsekuensi saling percaya dan penyerahan diri secara batiniah. Melepaskan keterikatan menjadi relatif lebih berat karena satu sama lain sudah pada tahap saling membutuhkan dan tidak menginginkan yang lain. Dalam relasi itu sudah terbangun adanya komitmen. Melepaskan relasi berarti kehilangan pemenuhan kebutuhan batin yang sudah biasa diperoleh dengan mudah melalui pasangan. Tentu saja bagi sebagian orang ini bisa dianggap sebagai bencana besar. “Sakitnya tuh di sini”, katanya demikian.

Pertanyaannya, siapa yang dapat melakukan intervensi dalam setiap tahap relasi di atas? Ya terutama oleh para pelakunya, alias mereka yang terlibat dalam relasi. Keduanya adalah makhluk dewasa yang tak bisa dikekang sepenuhnya dalam pemilihan relasi. Bekal ketegasan sikap diperlukan sejak awal agar mekanisme intervensi bisa berlangsung dalam setiap perpindahan tahap relasi. Jika tidak, maka kita akan larut begitu saja terbawa oleh nikmatnya perasaan yang membuai, mengalir dan berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya.

Referensi:

Tjahjanto W., 2014. Kawin Campur Sudah Lumrah. Dalam Warta Umat, Ed. 39, Oktober 2014 . Jakarta: Paroki Ratu Rosari Jagakarsa.

Tjahjanto W., 2014. Kawin Campur “Kan Nggak Apa…” Dalam Warta Umat, Ed. 42, Oktober 2014 . Jakarta: Paroki Ratu Rosari Jagakarsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline