Perkembangan teknologi berangsur cepat. Begitu cepatnya sampai-sampai kita berada di masa di mana kita dapat bertukar informasi dengan sesuatu yang bukan manusia, melainkan kecerdasan buatan yang dibuat oleh tangan manusia. Selamat datang di era ChatGPT . ChatGPT sederhananya adalah chatbot yang memungkinkan Anda untuk bercakap dengan bebas dengan kecerdasan buatan tersebut.
ChatGPT rilis dan beredar dengan daya sebar yang luar biasa ke tiap belahan penjuru dunia. Tidak sedikit yang menganggapnya sebagai pertanda perubahan zaman yang akan mengarah pada reformasi industri mendatang. Sejak rilisnya, orang-orang sudah banyak mempertanyakan etika dalam penggunaan teknologi terbaru ini. Kemampuan menciptakan narasinya hampir menyamai kecerdasan manusia yang, karenanya, informasi yang ia berikan dapat menjadi cukup meyakinkan sehingga mereka yang tidak diberitahu bahwa yang membuatnya adalah robot pun tidak mempertanyakan dua kali terkait autentisitas dan kredibilitas informasi yang mereka dapat.
New York, Amerika Serikat menjadi kota pertama sedunia yang menanggapi kemunculan ChatGPT dengan sigap. Mereka melarang penggunaan ChatGPT di sekolah-sekolah. Bukan tidak beralasan, memang banyak yang menganggap ChatGPT dapat membunuh kreativitas.
Pasalnya, ia dapat mengerjakan tugas-tugas berat yang diberikan guru-guru dan bahkan dapat menyusun esai yang diberikan oleh para profesor dengan begitu baik sampai-sampai para pendidik pun akan kesulitan dalam membedakan mana yang dikerjakan oleh manusia dan mana yang bukan. Beberapa profesor yang terlatih, menurut beberapa sumber, dapat melihat perbedaannya dan ia meminta mahasiswanya untuk menulis ulang esai tersebut --Ia mengklaim bahwa esai yang disusunnya "terlalu rapi dan terstruktur", sehingga membuatnya curiga. Namun profesor tersebut juga yang berpendapat bahwa percuma untuk melarang penggunaan robot tersebut, karena lagipula "kucing itu sudah keluar kandang", gugatnya.
Sebagai calon guru PAI, saya sempat memikirkan hal ini dan merenung bahwa bidang agama adalah bidang sensitif yang menuntut para murid untuk memperoleh ilmu yang mereka terima dengan jalur transmisi informasi yang dapat menghantarkan mereka ke Nabi Muhammad SAW melalui rantai keilmuan yang kredibel. Maka, jangankan menanyakan perihal agama ke ChatGPT, mencari sumber melalui Google saja sudah begitu banyak menuai kontroversi.
Dengan percaya diri, saya menyatakan bahwa ChatGPT bukanlah sumber yang dapat dipercaya. ChatGPT bukanlah sumber informasi yang dapat kita pergunakan sebagai individu yang kita tunjuk dan katakan "saya dapat info dari dia". Dalam generasi ChatGPT saat ini, ia bagus sebagai mainan kita untuk mem-brainstorming ide dan sesekali teman mengobrol terkait topik yang akan didiskusikan TANPA menerima informasi yang diberikannya secara mentah-mentah. Anggap saja ia sebagai orang pintar dengan segala kekurangan. Dia bukan ahli; dia bukan spesialis; dia bukan cum laude di bidangnya, tapi dia cukup berwawasan luas untuk diajak berkomunikasi.
Alasan booming-nya teknologi ini juga bisa dilihat dari manfaatnya yang luar biasa. Sebegitu bermanfaatnya sampai-sampai ditakutkan satu teknologi ini saja dapat meruntuhkan hampir semua profesi, termasuk yang belum terpikirkan sebelumnya seperti farmasi dan bahkan yang membutuhkan kreativitas murni seperti seni.
Mari saya berikan contoh kasus nyata secara pribadi. Bukan dalam konteks ruang kelas, namun masih terkait dengan pendidikan; yaitu administrasi. ketika saya ingin membuat formulasi Excel yang merumuskan konsep penilaian yang cukup kompleks, saya meminta ChatGPT untuk membuatkan saya rumus tersebut. Tidak sampai beberapa detik, formulasi tersebut sudah bisa saya pakai secara praktis.
Menakjubkan, bukan? Iya, tapi juga bukankah hal ini mengerikan bagi mereka yang berprofesi di bidang spesialis Excel? Ini gratis, loh; mereka berbayar. Tidak juga.
Saya juga meminta rumus ke ChatGPT tadi juga karena saya sudah familiar dengan apa yang saya minta. Toh, lagipula alat ini tidak sepenuhnya sempurna, beberapa bagian dari formula tersebut masih harus saya benahi secara manual. Hanya saja, saya mempercepat proses alur kerja saya dan lebih memerhatikan pekerjaan yang membutuhkan perhatian lebih. Bukankah waktu kita juga lebih berharga?