[caption caption="Kabinet Kerja Jokowi (Liputan6.com/Sangaji)"][/caption]Sepekan setelah mengucapkan sumpah dan janji, masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, Jokowi dan Jusuf Kalla, segera membentuk kabinet pemerintahan yang dinamai “Kabinet Kerja”. Diumumkan 26 Oktober 2014, serta dilantik sehari setelahnya. Namun baru sepuluh bulan bekerja, susunan kabinet dari unsur profesional dan usulan partai pengusung Jokowi-Jusuf Kalla itu, akhirnya dirombak di bulan Agustus 2015. Ada lima menteri dicopot.
Alasan perombakan kabinet Jilid I itu, selain karena pertimbangan kinerja sejumlah menteri yang tidak memuaskan, tapi alasan lain yang sulit dipungkiri, adalah dominan karena kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu, termasuk terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD). Para menteri yang mengurusi bidang ekonomi, dinilai berkinerja buruk karena tak mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi dan penyelamatan nilai rupiah.
Setelah perombakan kabinet Jilid I, di bulan Agustus 2015, selang tiga bulan kemudian, isu reshuffle Jilid II kini kembali mengemuka. Meski tidak pernah jelas apa pertimbangan utama yang mendasari perombakan itu, tapi kabar berhembus mengatakan, rencana perombakan akan dilakukan usai pelaksanaan pilkada serentak, 9 Desember 2015 mendatang. Sejumlah nama menteri kembali disebut-sebut bakal diganti. Lagi-lagi karena dinilai berkinerja buruk.
Dulu di awal Oktober 2015, Indobarometer melansir hasil survey tentang performa sekian menteri yang kinerjanya memuaskan atau yang ditanggapi publik berkinerja buruk. Menteri Kelautan dan Perikanan menempati posisi tertinggi paling memuaskan. Namun Mohammad Qodari, Direktur Eksekutif Indobarometer, menampik bahwa kepuasan publik dalam survey itu tak layak dijadikan tolak ukur kinerja para menteri, karena hanya melihat sisi popularitas.
Dan soal perilaku sekian menteri berebut meraih popularitas, ditanggapi Ketua DPR-RI, Setya Novanto, bahwa ada menteri yang citranya baik, tapi kinerjanya kurang. Serapan anggaran di instansinya rendah. Makanya, lanjut Wakil Ketua DPR-RI, Taufik Kurniawan, para menteri agar menyudahi kinerja blusukan yang berorientasi populis dan pencitraan, tapi harus lebih fokus membantu presiden dalam memenuhi target kinerja di bidangnya masing-masing.
Seruan seperti itu patut untuk didengar, bukankah kekurangan yang paling menonjol dalam kabinet yang santer akan kembali di reshuffle itu, tak lain adalah lemahnya koordinasi lintas sektor akibat adanya ego sektoral. Sebab itu, kebijakan pemerintah banyak yang tidak tepat sasaran. Maka andai reshuffle kabinet ingin kembali dilakukan, mestinya target dan capaian tiap sektor dipertajam, sekaligus nantinya akan menjadi alat ukur mereshuffle para menteri.
Indikator yang sama disampaikan politikus PDI-P, Andreas Pareira, bahwa reshuffle seorang menteri didasarkan tiga hal, yaitu karena kinerjanya buruk, buruknya loyalitas pada Presiden dan buruknya koordinasi. Tapi apakah benar Jokowi dan Jusuf Kalla akan segera mereshuffle kembali kabinetnya dalam waktu dekat? Semua diserahkan pada hak prerogatif Presiden RI, Jokowi. Sekalipun PAN yang belakangan ikut bergabung, mendesak dilakukan secepatnya.
Makassar, 11 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H