Lihat ke Halaman Asli

Para Pemimpin Ummat

Diperbarui: 20 Juli 2015   02:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="photo: toonpool.com"][/caption]

Ketika beriringan sanak keluarga menuju lapangan terdekat dari kediaman saya di Makassar untuk menunaikan shalat berjama’ah idul fitri, sontak terbayang di benak saya betapa indah dan nikmatnya andai dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama bersatu paham dalam penetapan hari yang sama dalam pelaksanaan Idul Fitri. Akibat itu, tahun ini ummat Islam Indonesia tak dibingunkan lagi berlebaran di hari yang berbeda.

Kebahagian itu semakian terasa bagi seluruh ummat Islam Indonesia, karena seluruh sanak keluarga berkumpul dan berlebaran di hari yang sama. Entah dia pengikut Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, sama-sama kompak bersilaturrahim memaknai idul fitri. Sama-sama, kembali ke fitrahan di hari yang sama. Pemimpin ummat memang kadang melupakan kisah kecil yang memiliki makna terpenting bagi ummatnya, seperti ini. Hanya bertahan pada dalil.

Di era kecanggihan tekhnologi sekarang ini, saya menduga bahwa tidak semestinya lagi kita dipertentangkan soal perhitungan hizab, sebab di era sekarang jangankan mau meneropong putaran bulan dan matahari mengelilingi bumi, di negeri serba maju sana, mendatangi bulan saja, nyaris tiap tahun. Lalu kita di Indonesia menghabiskan banyak energi semata berdebat soal hasil pantauan teropong, kemudian berujung pada hasil yang membingungkan ummat.

Buktinya, berkat kemajuan teknologi, kita dapat menyampaikan permohonan maaf lahir dan bathin, tanpa perlu meninggalkan tempat duduk. Cukup memencet nomor hape lalu bicara. Bisa juga lewat pesan sms, BBM, Line, whatsApp, facebook, twitter, instagram, Email atau aneka macam sarana canggih lainnya, meski sulit diingkari sangat jauh beda keabsahan juga maknanya jika bersilaturahmi secara tatap muka. Tapi cukup mewakili jika kita berjauhan.

Kenikmatan berlebaran Idul Fitri akibat dukungan teknologi canggih, setidaknya sangatlah terasa bagi saya. Seusai bersalam-salaman sanak keluarga, saya membuka layar hape, saya menemukan puluhan sms yang masuk. Isi pesannya tidak lebih kurang sama saja isi pesan diterima para pemilik hape pada umumnya. Pesan permohon ma’af lahir dan bathin. Paling membahagiakan saya adalah pesan sms sekian sahabat saya penganut agama non-muslim.

Alangkah fasihnya mereka menuliskan kalimat “Taqabalallahu minna wa minkum”. Meski saya tahu kalimat itu hasil comotan apa adanya, tapi saya tidak ingin fokus pada kalimat itu, justru saya ingin fokus pada rasa peduli, empati, persahabatan dan sikap teleransi mereka semua. Namun di saat tengah bahagianya membaca pesan sms sekian karib saya penganut non-muslim itu, sontak kebahagian itu serasa dikoyak oleh pesan lain. Kisah pilu di Tolikara.

Masyarakat muslim yang berlebaran di Papua sana, dibubarkan paksa oleh pengikut agama non-muslim. Mushallah pun ikut dibakar. Dan kebahagian saya kian terkoyak, karena ketika mencari informasi sebenarnya, justru kekaburan saya dapat. Akibat tekhnologi nan-canggih, informasi justru tak jelas. Bahkan berbau provokatif. Beruntung saya menemukan selembar surat pemimpin ummat. Itulah akibatnya jika hanya bertahan di dalil, tanpa sadar risikonya.

Makassar, 19 Juli 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline